Fenomena Flexing: Mengapa Masyarakat Indonesia Rentan Pamer?

Sumber : Envato

Fenomena pamer harta atau yang populer dengan istilah fenomena flexing makin gencar di media sosial. Kamu mungkin juga sering menjumpai seseorang yang sengaja menampilkan gaya hidup mewah di media sosial, entah itu lewat liburan ke luar negeri, barang bermerek, atau mobil sport.

Menariknya, perilaku seperti ini tak hanya dilakukan oleh kalangan selebritas atau pengusaha, tetapi juga oleh masyarakat biasa yang merangkap sebagai influencer dan ingin dianggap sukses. Lantas, mengapa budaya pamer ini bisa tumbuh subur di Indonesia?

Apa Itu Flexing?

Fenomena Flexing
Sumber : Envato

Sederhananya, flexing adalah perilaku seseorang yang sengaja menunjukkan pencapaian materi atau kekayaan untuk mendapatkan pengakuan dan pujian dari orang lain. Di era modern, perilaku ini sering kali muncul di media sosial, yakni tempat setiap orang bisa “membuat citra baru” tentang dirinya sendiri.

Secara harfiah, istilah flexing berasal dari kata flex yang artinya “memamerkan” atau “menunjukkan kekuatan”. Konsep ini sudah muncul sejak beberapa abad yang lalu. Bahkan, seorang ekonom asal Amerika Serikat, yakni Thorstein Veblen, pernah membahas fenomena flexing sejak tahun 1899 dalam bukunya yang berjudul “The Theory of the Leisure Class”. Ia menyebut flexing sebagai conspicuous consumption, yakni konsumsi barang-barang mewah semata untuk menunjukkan status sosial.

Namun, di era digital seperti sekarang ini, bentuk dari flexing justru menjadi jauh lebih kompleks. kamu bisa melihat seseorang tampil sangat sederhana di dunia nyata, tetapi begitu di media sosial, orang tersebut menampilkan dirinya bak “crazy rich”. 

Jika dipahami, media sosial sudah menjadi tempat bagi siapa pun untuk menampilkan versi terbaik dirinya, baik itu sungguhan maupun hasil dari manipulasi visual. Tak jarang, kekayaan yang dipamerkan bukan milik pribadi, melainkan hasil dari pinjaman, edit, utang, atau bahkan uang dari sumber-sumber yang tidak jelas.

Mengapa Masyarakat Indonesia Rentan Flexing?

Untuk memahami mengapa masyarakat Indonesia mudah terjebak dalam lingkaran fenomena flexing, kamu perlu melihatnya dari berbagai sisi, termasuk psikologis, sosial, dan budaya. 

Dari sisi psikologis, manusia pada dasarnya memiliki kebutuhan untuk diakui. Hal ini dijelaskan juga oleh Henry Murray dalam teorinya tentang needs yang menyebut salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan exhibition. Dalam konteks ini, exhibition merupakan dorongan untuk menarik perhatian orang lain. Jadi, saat seseorang baru merasa dihargai karena kekayaannya atau penampilannya, otaknya secara alami akan melepaskan dopamin yang menimbulkan rasa senang.

Sementara itu dari sisi sosial, masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang sangat menjunjung tinggi status dan gengsi. Selain  itu, perlu diketahui bahwa Indonesia merupakan negara yang menganut budaya kolektivisme atau komunal. Oleh sebab itu, pengakuan dari orang lain menjadi ukuran kesuksesan seseorang. Tak heran, banyak orang rela berutang demi terlihat sukses atau tampil dengan citra yang bukan sebenarnya.

Lebih lanjut, tak sedikit pengguna media sosial yang merasa tertekan ketika melihat orang lain menampilkan gaya hidup yang di luar batas kemampuannya. Alhasil, hal tersebut cenderung membuat mereka membanding-bandingkan diri. Hal ini menunjukkan bahwa flexing sudah bukan lagi masalah individu, melainkan sudah menjadi gejala sosial.

Di samping itu, media sosial sendiri juga sangat berperan dalam memperkuat fenomena ini. Algoritma platform seperti di TikTok dan Instagram cenderung menampilkan konten-konten yang menarik perhatian, seperti pamer kekayaan yang cukup efektif untuk mendapatkan interaksi. Sebab itu, banyak orang tanpa sadar terdorong untuk menunjukkan kehidupan mewah agar dianggap “berhasil”.

Fenomena flexing ini makin diperparah oleh budaya “No picture, hoax” yang melekat erat di masyarakat. Banyak orang merasa jika tidak menunjukkan bukti visual, maka pencapaian mereka seolah dianggap tidak nyata. Oleh sebab itu, mereka cenderung berlomba-lomba menunjukkan apa pun yang bisa menegaskan eksistensinya, mulai dari membeli makanan mahal, gawai baru, hingga liburan padahal kondisi finansialnya sering kali tidak memungkinkan untuk membeli itu semua.

Dampak Fenomena Flexing

Fenomena Flexing
Sumber : Envato

Mungkin kedengarannya sepele, tetapi kebiasaan flexing justru bisa berdampak buruk terhadap kehidupan sosial dan psikologis masyarakat. Dari sisi psikologis, kebiasaan flexing karena melihat orang lain terlihat lebih sukses bisa menimbulkan kebiasaan membandingkan diri dengan kehidupan orang lain. Akibatnya, seseorang menjadi kurang percaya diri, stres, dan depresi.

Di Indonesia, fenomena flexing memperbesar kesenjangan sosial secara simbolik. Ketika sekelompok orang terus-terusan menampilkan kemewahan, maka kelompok lain yang hidup dengan segala keterbatasan bisa merasa terpinggirkan. Akibatnya, muncul tekanan sosial untuk ikut-ikutan tampil “wah” meskipun secara finansial belum mampu. Fenomena ini juga disebut sebagai social pressure yang sering kali membuat seseorang memaksakan gaya hidup yang sebenarnya di luar kemampuan finansialnya.

Bukan hanya itu saja, flexing juga bisa mengaburkan kesuksesan yang sesungguhnya. Akibatnya, banyak orang lebih fokus pada penampilan luar alih-alih pencapaian nyata. Nilai-nilai luhur seperti kerja keras, integritas, dan kesederhanaan perlahan mulai tergeser oleh citra glamor yang didapatkan secara instan. Dalam jangka panjang, hal seperti ini bisa melahirkan generasi-generasi yang lebih memintangkan validasi eksternal daripada kepuasan dari dalam diri.

Pada akhirnya, fenomena flexing merupakan cerminan dari kebutuhan psikologis manusia akan pengakuan dan penerimaan sosial. Di tengah lingkup sosial yang bersifat kolektif seperti di Indonesia, pamer menjadi cara cepat untuk mendapatkan pengakuan. Sayangnya, kebiasaan ini justru sering kali mengorbankan kejujuran dan ketenangan batin.

Ingat, kamu tidak memiliki tanggung jawab untuk menunjukkan semua hal yang kamu miliki hanya untuk dianggap berhasil. Sebab, nilai seseorang yang sesungguhnya diukur dari seberapa bermakna ia menjalani hidup bukan dari seberapa mahal barang yang ia kenakan.

Leave a Reply