Kamu, yang ingin memanfaatkan layanan pembiayaan atau kredit syariah, umumnya menjumpai sejumlah pilihan akad. Sederhananya, akad merupakan kesepakatan atau perjanjian dalam transaksi berprinsip syariah. Jenis akad sendiri cukup banyak; salah satu yang paling umum digunakan ialah akad ijarah. Apa itu akad ijarah? Simak selengkapnya dalam ulasan berikut.
Menurut Rachmat Syafi’I dalam buku Fiqh Muamalah, akad ijarah adalah perjanjian pemindahan hak guna suatu barang yang disertai dengan pemberian upah atau dengan biaya sewa tanpa adanya perpindahan hak milik.
Selanjutnya, menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia yang tercantum dalam fatwa No. 09/DSN-MUI/IV/2000, akad ijarah merupakan perjanjian pemindahan manfaat atau hak guna suatu barang atau jasa dalam kurun waktu tertentu.
Pemindahan hak guna tersebut wajib disertai dengan pembayaran upah atau sewa dari pihak yang menyewa (mu’jir) ke pihak yang memiliki aset (mu’jir bih). Aset yang dapat disewakan cukup beragam; aset tersebut bisa berupa bangunan, kendaraan, peralatan, dan lain sebagainya.
Dalam akad ijarah, pihak penyewa memiliki tanggung jawab untuk merawat dan memelihara kondisi aset selama disewa. Pihak penyewa juga wajib mengembalikan aset yang dipinjam dalam kondisi yang sama seperti saat pertama kali disewa, kecuali jika memang ada perjanjian sebaliknya.
Selanjutnya, pemilik asset—yang merupakan pemilik sah—memiliki tanggung jawab atas perawatan aset dan harus memberikan akses yang memang diperlukan oleh pihak penyewa selama aset disewa.
Akad ijarah didasarkan pada prinsip-prinsip syariah Islam yang berakar dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis. Dalam Al-Qur’an, ketentuan mengenai akad ijarah disebutkan dalam Surah Al-Qashas ayat 26 dan Surah At-Talaq ayat 6. Selain itu, ketentuan mengenai akad ijarah juga diatur dalam UU No. 21 Tahun 2008 mengenai Perbankan Syariah.
Sebelum akad ijarah dilaksanakan, kedua pihak yang ingin melakukan perjanjian wajib memenuhi beberapa syarat ijarah. Adapun persyaratan yang dimaksud antara lain:
Sementara itu, dalam melaksanakan akad ijarah, ada sejumlah rukun yang perlu dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Berikut rukun akad ijarah tersebut:
Dilihat dari penerapannya, akad ijarah dibagi menjadi beberapa jenis. Melansir dari berbagai sumber, berikut adalah jenis-jenis akad ijarah:
Akad ijarah a’amal merupakan perjanjian sewa atas suatu jasa seseorang. Ijarah dalam hal ini digunakan untuk mendapatkan jasa dari seseorang dengan bayaran berupa upah. Di sini, pengguna jasa disebut dengan mutajir, pemilik jasa disebut dengan ajir, dan upah yang diberikan disebut ujrah.
Ijarah ayn atau ala al-a’yan merupakan perjanjian sewa atas manfaat suatu aset berupa barang. Tujuan dari jenis ijarah ini adalah mengambil manfaat dari objek sewa. Objek sewa juga tidak bisa dibeli oleh pihak penyewa selama masa sewa atau saat berakhir.
Jenis akad ijarah yang berikut ini adalah perjanjian atas manfaat suatu barang dan/atau jasa di mana hanya kuantitas dan kualitas dari objek akad saja yang disebutkan saat akan dilakukan.
Ijarah tasyghiliyyah merupakan perjanjian atas manfaat suatu barang tanpa adanya pemindahan hak milik kepada penyewa.
Ijarah muntahiya bittamlik merupakan transaksi sewa menyewa untuk mendapatkan imbalan atau upah dari objek yang disewakan. Jenis akad ijarah ini juga memberlakukan adanya pemindahan hak milik atas objek sewa yang mana bisa dilakukan dengan pemberian hibah atau jual beli.
Muntahiya bittamlik merupakan jenis akad ijarah yang paling umum digunakan dalam lembaga keuangan syariah. Menurut Otoritas Jasa Keuangan, transaksi dengan ijarah muntahiya bittamlik muncul karena adanya kebutuhan dari suatu pihak untuk memiliki sebuah aset. Pemenuhan atas kebutuhan aset tersebut dapat diselesaikan menggunakan ijarah muntahiya bittamlik.
Penerapan akad ijarah, termasuk ijarah muntahiya bittamlik, tercantum dalam fatwa MUI No. 27/DSN-MUI/III/2002. Dalam fatwa tersebut disebutkan bahwa ijarah muntahiya bittamlik baru bisa dilaksanakan bila sudah ada akad ijarah yang membahas mengenai hak guna sewa yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak.
Di samping itu, pihak pemilik aset atau pemberi sewa harus menjelaskan mengenai kewajiban dan hak penyewa dalam perjanjian yang akan disepakati. Lebih lanjut, akad pemindahan hak milik menggunakan ijarah muntahiyah bittamlik hanya bisa dilakukan setelah masa akad ijarah selesai.
Jadi, selama masa sewa masih berlangsung sesuai dengan perjanjian, maka pihak penyewa hanya akan mendapatkan hak sewa. Bila masa sewa telah berakhir, maka pemindahan hak milik (hibah) baru bisa dilakukan.
Akad ijarah muntahiyah bittamlik dapat diterapkan dalam pembiayaan properti syariah. Contohnya begini, pihak bank memberikan pembiayaan kepemilikan properti kepada kamu dengan cara membeli rumah yang kamu inginkan. Selanjutnya, kamu menempati rumah tersebut dengan sistem sewa.
Dengan kata lain, kamu harus membayar sewa setiap bulannya sesuai dengan akad ijarah yang sudah disepakati sebelumnya. Secara tidak langsung, bayaran sewa yang kamu berikan secara rutin hingga masa sewa berakhir dianggap sebagai biaya pelunasan rumah tersebut. Setelah lunas, pihak bank akan memindahkan hak milik (hibah) rumah tersebut sesuai dengan kesepakatan.
Jadi, itulah penjelasan mengenai akad ijarah, jenis, rukun dan syarat, serta landasan hukumnya. Semoga artikel ini dapat membantu kamu dalam memahami akad ijarah sebelum memilih jenis akad yang pas pada pembiayaan syariah.