Bisnis Tanpa Digitalisasi: Apakah Bisa Bertahan?

Bisnis tanpa digitalisasi kini makin sulit bertahan di era digital. Yuk, simak alasannya dalam pembahasan berikut ini.
Sumber : Envato

Di era digital saat ini, banyak bisnis sudah memiliki eksistensi di media sosial. Namun, bagaimana jika ada bisnis yang tetap bertahan tanpa menyentuh ranah digital sama sekali? Padahal, di tengah gempuran teknologi dan perubahan pola konsumsi masyarakat, banyak bisnis mulai mengubah strategi mereka.

Namun faktanya, masih banyak pemilik usaha, khususnya UMKM yang merasa nyaman dengan cara-cara konvensional, seperti berjualan secara offline saja, mencatat transaksi dengan buku tulis, atau bahkan mengandalkan pemasaran dengan strategi dari mulut ke mulut. Padahal, dunia telah berubah dan perubahan ini bisa menggulung siapa pun yang tidak mampu menyesuaikan diri.

Lantas, apakah bisnis yang menolak digitalisasi tetap bisa bertahan?

Realitas Bisnis Konvensional di Tengah Arus Digital

Bisnis Tanpa Digitalisasi
Sumber : Envato

Bisnis konvensional jelas pernah berjaya pada masanya. Bisnis seperti warung kelontong, toko pakaian di pasar, atau bahkan jasa fotokopi di depan kampus, semuanya dulu pernah memiliki pelanggan setia.

Akan tetapi, kini kebiasaan konsumen telah mengalami perubahan drastis. Menurut data dari We Are Social 2024, sekitar 77% penduduk Indonesia sudah aktif menggunakan internet. Sementara itu, data terbaru menunjukkan bahwa lebih dari 30% masyarakat Indonesia melakukan pembelian produk konsumer secara online dan frekuensinya lebih tinggi daripada belanja offline, yakni sekitar 2,8 kali.

Ini artinya, cukup banyak pelanggan yang pindah haluan. Mereka tidak lagi menjadikan toko fisik sebagai tujuan utama berbelanja, tetapi mengetik di kolom pencarian marketplace seperti Shopee, Tokopedia, atau bahkan TikTok Shop. Jika kamu masih tetap ingin bertahan dengan cara lama, dengan kata lain kamu sedang bermain di dalam medan kosong yang tidak ada penonton dan pelanggannya.

Contoh nyatanya adalah Pasar Tanah Abang. Pasar terbesar di Jakarta ini pernah hampir sekarat sejak diserbu produk murah yang dijual di e-commerce, hingga membuat omzet para pedagang menurun hampir 50%. Namun yang menarik, kebangkitan mereka justru datang saat para pedagang mau memanfaatkan platform digital. Mereka membuat konten di TikTok, melakukan live selling, dan menyesuaikan harga dengan tren online.

Hal ini menunjukkan bahwa digitalisasi bukan hanya strategi baru, tetapi penyelamat di era modern.

Tertinggal Jika Tidak Ikut Arus

Apa yang terjadi jika bisnis memutuskan untuk tidak mengikuti arus digitalisasi?

Pernah mendengar kisah perusahaan Kodak? Dahulu, perusahaan kamera ini sempat berjaya, tetapi gagal menyesuaikan diri dengan perkembangan dunia digital dan akhirnya tumbang. Pun, begitu dengan banyak bisnis kecil yang merasa sudah memiliki pelanggan setia tetapi tidak sadar bahwa kesetiaan bisa berubah saat kompetitor menawarkan opsi yang lebih praktis dan cepat.

Di Indonesia, fenomena serupa juga terjadi. Banyak toko-toko di pasar tradisional sepi karena masyarakat beralih ke marketplace yang menawarkan banyak diskon dan efisiensi transaksi. Padahal, pemilik toko-toko di pasar tradisional sebenarnya bisa terjun ke dunia digital jika mereka mau.

Menurut laporan McKinsey Global Institute, digitalisasi bisa mendorong produktivitas bisnis hingga 30% dalam kurun waktu 10 tahun ke depan. Ini menunjukkan bahwa perusahaan yang tidak mampu beradaptasi dengan digitalisasi akan tertinggal. Jadi, kalau kamu enggan ikut arus digital, maka kamu tidak hanya akan tertinggal, tetapi kamu juga sedang memberi ruang bagi kompetitor untuk mengambil pelangganmu.

Namun, perlu dicatat bahwa digitalisasi pada dasarnya bukan sesuatu yang rumit atau mahal. Banyak UMKM sukses merintis bisnis dengan cara sederhana, seperti membuat akun di TikTok, bergabung di marketplace, atau sekadar menyediakan opsi pembayaran melalui QRIS.

Digitalisasi Bukan Jaminan Sukses, Tapi Syarat Bertahan

Bisnis Tanpa Digitalisasi
Sumber : Envato

Digitalisasi memang bukan sesuatu yang bisa diterapkan dalam satu malam. Terjun ke dunia digital tidak semerta-merta membuat bisnismu langsung sukses. Ada banyak bisnis yang memiliki eksistensi di media sosial tetapi minim interaksi. Ada pula toko online di marketplace yang sepi pembelian karena tidak mampu memahami kebutuhan pasar.

Pada dasarnya, digitalisasi adalah syarat minimum untuk bertahan di era sekarang dan bukan jaminan keberhasilan. Sama halnya dengan menyetir mobil, memiliki SIM tidak otomatis membuat kamu pintar nyetir. Namun tanpa SIM, kamu tidak bisa melaju di jalanan dengan rasa tenang.

Kita ambil contoh inspiratif dari Blue Bird. Dulu, perusahaan taksi terbesar di Indonesia ini sempat goyah karena kehadiran Gojek dan Grab. Namun alih-alih menyerah, mereka justru melakukan transformasi digital secara besar-besaran, seperti memperbarui aplikasi, menawarkan opsi pembayaran digital, dan bahkan menjalin kolaborasi dengan Gojek dan Grab. 

Namun tentu saja, digitalisasi juga ada tantangannya, di antaranya adalah keterbatasan SDM, kurangnya pelatihan, hingga kendala infrastruktur di daerah pinggiran. Namun kabar baiknya, pemerintah dan sejumlah pihak terkait gencar memberikan pelatihan digital untuk para pelaku UMKM, salah satunya melalui program Kelas UMKM Go Digital dari Kemenkop UKM.

Jadi, Bisakah Bisnis Tanpa Digitalisasi Bertahan?

Jawabannya sangat sulit. Bukan berarti cara lama tidak memiliki nilai, tetapi karena cara baru sudah menjadi pakem. Para pebisnis harus mau menerima fakta bahwa banyak konsumen sudah beralih ke ranah digital dan jika tetap menolak perubahan, maka bisnismu bisa sepi konsumen.

Akan tetapi, jangan khawatir, digitalisasi tidak harus langsung dimulai dari hal besar. Kamu bisa memulainya dari hal sederhana, seperti membuat konten promosi di media sosial, khususnya TikTok. 

Ingat, perubahan memang menakutkan, tetapi memiliki bisnis yang stagnan justru jauh lebih berisiko. Pasalnya, dunia bisnis bukan soal siapa yang paling besar, tetapi siapa yang paling bisa bertahan lama dan paling cepat beradaptasi.

Leave a Reply