Sektor teknologi finansial (fintech) di Indonesia terus mengalami perkembangan. Namun di tengah perkembangannya, muncul wacana baru dari pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang berencana memangkas bunga pinjaman untuk layanan fintech peer-to-peer (P2P) lending.
Langkah ini tentu menarik perhatian para pelaku industri dan masyarakat yang aktif menggunakan layanan pinjaman online. OJK sendiri berargumen bahwa penurunan suku bunga bisa meringankan beban para debitur atau peminjam, mendorong peningkatan angka inklusi keuangan, dan mengurangi risiko kredit macet.
Namun, rencana pemangkasan suku bunga ini mendapat tanggapan yang beragam dari para kalangan pebisnis fintech yang mau tidak mau harus menyimbangkan segala aspek layanan, profitabilitas, sekaligus kepuasan pelanggan.
Pemangkasan bunga pinjaman yang akan diterapkan pada pelaku bisnis fintech merupakan salah satu upaya OJK dalam menjaga keseimbangan antara kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan industri itu sendiri.
Saat ini, suku bunga yang dikenakan oleh perusahaan P2P lending berkisar 12%-30% per tahun dan ini masih dianggap masih cukup tinggi, khususnya bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. OJK melihat hal ini sebagai sebuah tantangan karena bunga yang tinggi dapat memicu terjadinya kredit macet apabila peminjam kesulitan dalam pembayaran.
Pada 2024, OJK mulai membahas kemungkinan untuk mulai menetapkan bunga pinjaman yang lebih rendah guna menekan angka gagal bayar sekaligus memperluas akses masyarakat terhadap pembiayaan tanpa harus terbebani dengan suku bunga yang tinggi. Hal ini disampaikan melalui Surat Edaran OJK (SE OJK) Nomor 19/SEOJK.06/2023 terkait Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI).
Dalam surat edaran tersebut disebutkan bahwa OJK akan menurunkan batas maksimum ekonomi untuk pendanaan sektor produktif menjadi sekitar 0,067% per hari yang semula 0,1%. Aturan ini diharapkan mulai diterapkan secara menyeluruh pada 1 Januari 2026.
Sementara itu, untuk pendanaan konsumtif, suku bunga harian menurun menjadi 0,2% dari maksimum 0,3%. Aturan ini diharapkan akan berlaku mulai pada 1 Januari 2025 dan pada 1 Januari 2026 akan menurun kembali menjadi 0,1%.
Langkah ini juga dilatarbelakangi oleh kebijakan Bank Indonesia (BI) dalam memangkas suku bunga acuan menjadi 6%. Penurunan suku bunga acuan ini ditujukan agar biaya pinjaman menjadi jauh lebih terjangkau dan diharapkan bisa mendorong permintaan kredit, khususnya dalam sektor P2P lending.
Ada beberapa alasan mengapa OJK berencana mengeluarkan kebijakan pemangkasan bunga pinjaman. Adapun alasannya adalah:
Pemerintah, melalui OJK, berupaya meningkatkan angka inklusi keuangan di Indonesia dengan mengurangi berbagai hambatan yang dialami masyarakat Indonesia dalam mengakses layanan pinjaman.
Salah satu hambatan utama tersebut adalah tingginya bunga pinjaman, khususnya bagi masyarakat yang membutuhkan dana darurat atau modal usaha skala kecil. Dengan menurunkan suku bunga pinjaman, OJK berharap bisa memperluas akses keuangan sekaligus mendorong angka pertumbuhan usaha mikro dan kecil.
Seperti yang telah disampaikan, tingginya suku bunga kerap kali menjadi alasan bagi peminjam yang mengalami kesulitan dalam melunasi pinjamannya. Hal ini pada akhirnya meningkatkan risiko kredit macet bagi para pelaku bisnis fintech.
Dengan adanya penurunan suku bunga, maka beban peminjam akan berkurang sehingga risiko kredit macet dan gagal bayar dapat diminimalkan. Pihak OJK juga percaya bahwa pemangkasan ini dapat menciptakan ekosistem fintech yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Kebijakan OJK terkait pemangkasan suku bunga merupakan langkah yang sejalan dengan kebijakan BI yang telah menurunkan suku bunga acuan dalam beberapa periode terakhir guna mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Dengan menurunkan suku bunga acuan, OJK berharap industri fintech khususnya P2P lending dapat menyesuaikan bunga yang diberikan kepada nasabah. Hal ini juga diharapkan dapat mendorong minat masyarakat untuk memanfaatkan berbagai macam layanan fintech sebagai salah satu solusi keuangan yang dapat diandalkan.
Rencana pemangkasan suku bunga ini mendapat reaksi beragam dari berbagai perusahaan fintech di Tanah Air. Beberapa pelaku industri P2P lending menyambut dengan baik wacana tersebut tetapi ada juga yang mengkhawatirkan dampaknya terhadap operasional dan profitabilitas perusahaan.
Bagi sebagian pelaku fintech, suku bunga yang dikenakan saat ini telah melalui berbagai perhitungan guna menutupi biaya operasional dan risiko pinjaman. Apabila bunga dipangkas secara signifikan, otomatis muncul kekhawatiran bahwa profitabilitas perusahaan bisa mengalami penurunan drastis.
Hal tersebut lantaran bisnis fintech P2P lending beroperasi dengan risiko yang cukup tinggi, terlebih bagi perusahaan yang fokus pada segmen masyarakat yang selama ini tidak memiliki riwayat kredit atau bahkan agunan.
Dengan adanya potensi pemangkasan bunga, beberapa perusahaan fintech juga mengindikasi perlunya adaptasi pada model bisnis yang sudah mereka jalani. Beberapa perusahaan mungkin harus melihat opsi lain guna memperketat persyaratan kredit guna mengurangi potensi gagal bayar yang lebih tinggi. Sementara itu, beberapa perusahaan lainnya berusaha untuk memperluas jangkauan target peminjam dengan profil risiko rendah.
Sejumlah perusahaan fintech seperti PT Kredit Pintar Indonesia bahkan meminta OJK untuk kembali melakukan peninjauan terkait dampak dari pemangkasan bunga terhadap semua ekosistem fintech P2P lending. Mereka berharap ada kajian yang dilakukan secara komprehensif dan tidak hanya fokus pada keuntungan debitur tetapi juga mempertimbangkan keberlangsungan operasional bisnis fintech.
Jadi, wacana OJK untuk menurunkan suku bunga pinjaman pada layanan fintech P2P lending membawa harapan baru bagi masyarakat yang ingin mendapatkan akses pinjaman yang lebih terjangkau.
Bila dilihat dari sudut pandang konsumen, pemangkasan bunga ini dianggap mampu menciptakan inklusi keuangan dan mengurangi potensi kredit macet. Namun, di sisi lain, para pelaku bisnis fintech merasa perlu adanya kajian yang lebih mendalam agar kebijakan ini tidak malah merugikan keberlangsungan sektor fintech dan keseimbangan operasionalnya.
Maka dari itu, diperlukan adanya dialog antara para pelaku bisnis fintech dengan regulator untuk menemukan solusi yang tepat agar layanan fintech bisa tetap berjalan dan masyarakat bisa lebih mudah dalam mengakses layanan pinjaman yang aman dan terjangkau.