Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang telah diberlakukan pada 1 Januari 2025 kemarin menjadi topik hangat selama beberapa minggu terakhir. Kebijakan ini dianggap sebagai langkah penting bagi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara. Namun di sisi lain, kebijakan ini juga sempat memunculkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap sejumlah sektor, khususnya lembaga perbankan.
Kenaikan PPN menjadi 12% sempat dianggap akan memberikan tantangan besar bagi sektor perbankan konvensional. Salah satu dampak utamanya adalah penurunan tingkat daya beli masyarakat, khususnya dari segmen menengah yang memiliki peran krusial dalam menopang dana pihak ketiga (DPK) di perbankan.
Moch. Amin Nurdin, Senior Faculty di Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) melalui Bisnis.com, menjelaskan bahwa daya beli kelas menengah di Indonesia yang menurun dapat menyebabkan jumlah penurunan simpanan bank.
Di sisi lain, penurunan daya beli juga dapat mengurangi tingkat permintaan kredit konsumer seperti kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor. Penurunan permintaan kredit ini juga sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti tingginya suku bunga dan likuiditas yang cenderung ketat.
Namun, menurut Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa melalui Bisnis.com, dampak dari kenaikan PPN yang hanya dikhususkan untuk barang mewah tidak signifikan pada simpanan masyarakat.
Bahkan Purpaya memprediksi bahwa simpanan masyarakat bisa tetap mengalami pertumbuhan mengingat kebijakan kenaikan PPN ini hanya menyasar segmen atas. Ini artinya masyarakat yang tidak terdampak langsung justru bisa meningkatkan tabungan mereka.
Sementara itu bagi perbankan syariah, kenaikan PPN juga memberikan tantangan tersendiri. Bank syariah yang notabenenya beroperasi dengan prinsip berbagi risiko perlu beradaptasi dalam menghadapi perubahan daya beli masyarakat.
Menurut Rundi Dhema Perkasa, Risk Management Division Head Bank Mega Syariah melalui CNBC Indonesia, menyampaikan bahwa salah satu strategi untuk mengatasi dampak kenaikan PPN adalah dengan melakukan diversifikasi portofolio pembiayaan.
Bank syariah seperti Bank Mega berfokus pada segmen dengan risiko lebih rendah, seperti pendidikan dan kesehatan. Mereka juga memperkuat manajemen risiko melalui penerapan prinsip 5C (character, capacity, capital, collateral, condition) guna meminimalkan risiko gagal bayar.
Di samping itu, inovasi produk tetap menjadi kunci. Sebagai contoh, pertumbuhan signifikan pada penggunaan produk Syariah Card dari Bank Mega mengalami kenaikan mencapai 686% yoy. Ini menunjukkan bahwa nasabah masih tertarik dengan produk-produk perbankan berbasis syariah, khususnya di segmen atas. Fokus ini membuat bank berbasis syariah mampu menjaga stabilitas meskipun terdapat tekanan kondisi ekonomi.
Seperti yang disampaikan sebelumnya, kenaikan PPN menjadi 12% berpotensi memengaruhi perilaku masyarakat dalam menabung di bank. Dengan meningkatnya harga barang dan jasa, sebagian masyarakat mungkin akan lebih memilih untuk mengurangi konsumsi guna meningkatkan jumlah tabungan sebagai langkah preventif. Namun, seperti yang disinggung di atas, dampak ini tidak dirasakan secara merata di seluruh lapisan masyarakat.
Menurut Purbaya Yudhi Sadewa melalui Bisnis.com, kenaikan PPN yang hanya menyasar barang mewah justru dapat mendorong terjadinya kenaikan tabungan dari kalangan atas. Hal ini disebabkan karena mereka mungkin lebih memilih untuk mengalihkan dana yang seharusnya digunakan untuk konsumsi barang mewah ke bentuk tabungan atau produk keuangan lainnya.
Namun, untuk masyarakat kelas menengah ke bawah, tekanan ekonomi yang terjadi akibat kenaikan PPN dapat menyebabkan perubahan perilaku masyarakat terhadap keuangan. Mereka mungkin akan cenderung lebih fokus pada penguatan dana darurat alih-alih melakukan investasi jangka panjang.
Di sisi lain, produk tabungan dengan manfaat tambahan, seperti cashback atau bunga kompetitif, bisa menarik minat masyarakat untuk tetap menempatkan dana mereka di lembaga perbankan, baik konvensional maupun syariah.
World Bank selaku lembaga keuangan global sempat menyoroti kebijakan kenaikan PPN di Indonesia sebelum resmi diberlakukan. Menurut lembaga ini, kenaikan PPN tidak akan memberikan dampak yang begitu signifikan terhadap penambahan penerimaan negara.
Menurut World Bank, kenaikan tarif PPN harus dibarengi dengan dirilisnya kebijakan lain agar dapat memberikan dampak positif yang optimal terhadap penerimaan negara. Beberapa kebijakan yang bisa diterapkan antara lain dengan memangkas batas penetapan Pengusaha Kena Pajak (PKP), memperbaiki mekanisme audit, dan menghapus pengecualian pajak.
Selain itu, untuk kebijakan jangka menengah, World Bank menyarankan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan akses sekaligus ketersediaan data pihak ketiga. Tujuannya agar bisa digunakan untuk melacak dan memverifikasi jumlah pendapatan para wajib pajak maupun masyarakat yang seharusnya sudah masuk kategori wajib pajak tetapi justru menghindarinya.
Jadi, kenaikan PPN menjadi 12% membawa dampak yang cukup beragam pada lembaga perbankan di Indonesia. Perbankan konvensional harus menghadapi tantangan dalam menjaga tingkat pertumbuhan kredit dan kualitas aset.
Sementara itu, perbankan syariah harus mengandalkan inovasi produk dan diversifikasi pembiayaan agar tetap relevan. Di sisi lain, perilaku menabung masyarakat di tengah kenaikan PPN hanya kan dipengaruhi oleh segmen ekonomi masing-masing.
Meskipun kenaikan PPN tidak berdampak pada semua lapisan masyarakat dan dampaknya terhadap penerimaan negara mungkin tidak optimal menurut World Bank, setiap pihak saat ini tetap terkena dampak dari isu-isu kenaikan PPN. Padahal, kebijakan ini hanya menyasar segmen atas tetapi karena isu yang beredar sebelum diumumkan secara resmi oleh presiden, harga-harga barang sudah terlanjur naik.