Perkembangan kecerdasan buatan (AI) selama beberapa tahun terakhir makin menarik perhatian global. Salah satu yang kini tengah menjadi sorotan dunia adalah DeepSeek, AI asal China yang dikabarkan mampu menandingi model-model AI ternama seperti ChatGPT dari OpenAI.
Keberadaan DeepSeek bukan hanya membuat banyak orang penasaran, tetapi juga turut menimbulkan kegelisahan di kalangan perusahaan-perusahaan teknologi raksasa, khususnya di Amerika Serikat.
DeepSeek merupakan model AI yang dikembangkan oleh startup dengan nama yang sama asal Hangzhou, China. AI satu ini tengah menjadi kompetitor serius bagi sejumlah perusahaan AI seperti OpenAI dan bahkan Google.
DeepSeek memiliki dua model unggulan, yakni DeepSeek-V3 dan DeepSeek-R1. Keduanya dikenal karena memiliki performa tinggi dan efisiensi operasional yang jauh lebih terjangkau dibandingkan model-model AI sekelasnya.
DeepSeek-VT diluncurkan pada akhir 2024 dan fokus pada tugas-tugas yang bersifat umum, seperti menjawab pertanyaan sehari-hari, memahami bahasa alami, hingga menghasilkan konten kreatif. Sementara itu, DeepSeek-R1 yang dirilis pada awal 2025 khusus dirancang untuk tugas-tugas yang lebih kompleks, seperti memecahkan masalah matematika tingkat lanjut dan analisis data secara mendalam.
Keunggulan utama DeepSeek juga terletak pada efisiensi sumber daya yang digunakannya. Salah satu keunggulan tersebut terletak pada penggunaan biaya yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan model AI dari AS tetapi mampu menghasilkan kinerja yang setara atau bahkan jauh lebih baik. Kabarnya, developer DeepSeek hanya menghabiskan sekitar 6 juta dolar AS atau setara dengan 97 miliar rupiah untuk mengembangkan Deepseek dalam dua bulan.
Di balik DeepSeek, ada sosok yang cukup menarik perhatian, yakni Liang Wenfeng. Pria berusia 44 tahun tersebut merupakan pendiri DeepSeek dan seorang pengusaha yang memiliki visi besar untuk membawa China menjadi pemimpin dalam perkembangan kecerdasan buatan.
Liang sendiri merupakan lulusan Universitas Zhejiang, salah satu universitas top di China. Fondasi dari DeepSeek sendiri merupakan chip Nvidia yang berjumlah ribuan dan kini dilarang diekspor ke China. Keberhasilan ini menjadi bukti nyata bahwa inovasi bisa datang dari mana saja, bahkan dari startup yang baru berdiri.
Meskipun DeepSeek terbilang pendatang baru di dunia AI, model-model yang mereka tawarkan tak bisa dipandang sebelah mata. Lantas, apa bedanya dengan AI dari AS? Perbedaan utamanya terletak pada cara mereka mengembangkan dan melatih model AI.
DeepSeek menggunakan pendekatan bisnis yang jauh lebih hemat biaya dan efisien dalam hal sumber daya. Sebagai contoh, DeepSeek-R1 hanya memerlukan sekitar 6 juta dollar AS untuk pelatihan. Sementara itu, GPT-4 dari OpenAI menghabiskan sekitar 63 juta dollar AS.
Di samping itu, DeepSeek menggunakan chip Nvidia H800 yang jauh lebih murah dan efisien apabila dibandingkan dengan chip Nvidia H100 yang digunakan oleh banyak perusahaan di AS. Di samping itu, DeepSeek menggunakan arsitektur Mixture-of-Experts (MoE) yang memungkinkan model hanya perlu mengaktifkan sebagian parameter guna memproses setiap token.
Hal ini membuat DeepSeek jauh lebih hemat sumber daya tanpa harus mengorbankan kinerja. Sementara itu, model-model AI dari AS cenderung lebih mengandalkan model yang memiliki banyak parameter aktif sehingga lebih mengonsumsi energi dan biaya.
Kemunculan DeepSeek bukan hanya mengancam performa dan efisiensi AI pendahulu, tetapi juga membawa tantangan baru bagi dominasi AS dalam pasar teknologi global. Salah satu faktor yang membuat AS merasa khawatir adalah kemampuan DeepSeek guna memanfaatkan chip Nvidia yang jauh lebih murah dan lebih efisien untuk melatih model AI.
Dengan biaya yang lebih rendah, DeepSeep mampu menghasilkan AI yang tak hanya berkualitas tinggi, tetapi juga lebih terjangkau. Di sisi lain, model-model AI asal AS sering kali terkendala biaya yang fantastis (langganan premium) sehingga membuat mereka sulit untuk diakses banyak pihak.
Sebaliknya, DeepSeek yang biaya pembuatannya lebih murah dan bahkan tidak ada fitur berbayar, membuka peluang bagi lebih banyak pengguna untuk mengakses teknologi ini tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam.
Bukan hanya itu saja, keberadaan DeepSeek juga turut mempertegas persaingan teknologi antara China dan AS. Kedua negara ini terkenal dengan hubungan diplomatisnya yang kurang baik. Bahkan semenjak kemunculan DeepSeek, banyak saham di Wall Street yang langsung anjlok, termasuk Nvidia, Microsoft, Meta, dan bahkan Apple.
Kemunculan DeepSeek menambah ketegangan persaingan AI antara China dan AS sebab kecerdasan buatan lebih dari sekadar teknologi, tetapi juga berpotensi mengubah peta kekuatan geopolitik di dunia.
Jadi, DeepSeek merupakan bukti bahwa persaingan dalam industri teknologi makin memanas, khususnya di antara para pemain global, dan China tentu tidak ingin tertinggal. Dengan model AI yang efisien, terjangkau, dan penuh dengan inovasi, DeepSeek menantang dominasi perusahaan-perusahaan besar dari AS seperti OpenAI. Bahkan, DeepSeek membuka peluang baru dalam dunia AI dengan cara yang lebih hemat tetapi mampu menghadirkan performa tinggi.
Kemunculan DeepSeek sendiri menjadi semacam peringatan bagi banyak pihak. Bukan hanya soal keunggulan teknologinya, tetapi juga terkait dengan kekuatan geopolitik yang bisa muncul akibat dominasi teknologi. Untuk itu, AS mungkin perlu berpikir ulang tentang strategi mereka sebab persaingan dalam dunia teknologi AI kini makin ketat dan tak bisa dipandang sebelah mata.