Setiap tanggal 10 Agustus, Indonesia merayakan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional atau bisa disebut juga HAKTEKNAS. Peringatan ini seharusnya tidak menjadi seremonial belaka, melainkan juga menjadi reminder untuk merenungkan sudah sejauh mana perkembangan teknologi di Tanah Air? Apakah kita hanya jadi penonton dari kemajuan negara lain, sekadar jadi konsumen, atau sudah mulai berani menjadi pelaku inovasi?
Harus dipahami bahwa teknologi menjadi salah satu penentu daya saing suatu bangsa. Negara yang mampu mengembangkan teknologi dan memanfaatkannya tidak hanya memberikan nilai tambah ekonomi, melainkan juga meningkatkan posisi tawar di kancah global.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia saat ini?
HAKTEKNAS menyimpan sejarah yang cukup membanggakan. Tepatnya pada 10 Agustus 1995, pesawat N-250 Gatotkaca, hasil karya anak bangsa yang dirancang oleh BJ Habibie dan tim IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia) berhasil mengudara untuk pertama kalinya. Peristiwa ini tidak hanya menjadi bukti nyata kemampuan teknologi anak bangsa, melainkan menjadi simbol kebangkitan teknologi nasional.
Atas prestasi yang membanggakan tersebut, Presiden Soeharto menetapkan 10 Agustus sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional. Ketetapan tersebut tercantum dalam Keppres Nomor 71 Tahun 1995. Sejak saat itulah, HAKTEKNAS diperingati setiap tahun. Bukan sekadar formalitas belaka, melainkan sebagai bentuk apresiasi dan dukungan bahwa Indonesia mampu dan layak menjadi negara yang kuat dalam hal teknologi.
Namun setelah hampir tiga dekade, mungkin kamu mulai menyadari apakah semangat HAKTEKNAS masih menyala hingga saat ini?
Indonesia memang memiliki potensi besar untuk maju di bidang teknologi. Sayangnya, bangsa ini hingga kini masih lebih dikenal sebagai konsumen teknologi daripada produsen. Jelas, ini bukan asumsi belaka, tetapi didukung data konkret.
Pada periode 2016-2021 misalnya, sektor teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Tanah Air mengalami defisit transaksi berjalan. Data menunjukkan bahwa impor barang TIK berkisar antara 7,7% hingga 9,4% dari total ekspor-impor nasional. Sementara itu, ekspor barang TIK tidak pernah menyentuh 4% dan paling tinggi hanya sekitar 3,3%.
Hal serupa bahkan juga terjadi di sektor otomotif. Meskipun Indonesia mendominasi jumlah penjualan mobil di ASEAN pada periode 2022, yakni mencapai lebih dari 1 juta unit, jumlah produksi nasional masih kalah jauh dari Thailand. Pasalnya, Negeri Gajah Putih tersebut mampu menyumbang 43% dari total produksi mobil di ASEAN, sementara itu Indonesia hanya menyumbang sekitar 24%.
Kondisi ini lantas membuat Presiden Prabowo Subianto angkat suara. Dalam pernyataan publiknya pada akhir 2024, Presiden menyatakan ketidakpuasannya atas kenyataan bahwa Indonesia masih belum mampu memproduksi mobil, motor, bahkan komputer dengan kapasitas dalam negeri. Presiden bertekad untuk mengubah status Indonesia menjadi negara produsen teknologi, bukan sekadar konsumen.
Di balik defisit dan dominasi impor, tetap ada upaya sistematis yang sedang diusahakan oleh pemerintah. Hal ini termasuk menyusun strategi guna mewujudkan transformasi digital nasional.
Misalnya dalam agenda OECD Ministerial Council Meeting di Paris pada Juni 2025, Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan visi besar Indonesia dalam ekonomi digital. Indonesia diperkirakan akan mencatatkan nilai ekonomi digital sebesar 360 miliar dolar AS pada tahun 2030 dan menjadikannya yang terbesar di Asia Tenggara.
Ada tiga pilar utama yang menjadi prioritas, yakni:
Selain itu, KOMDIGI juga berkomitmen untuk terus melanjutkan program Indonesia Makin Cakap Digital (IMCD) untuk melatih 50 juta orang di seluruh provinsi. Harapannya, bukan hanya mereka yang tingga di kota-kota besar saja yang menikmati konektivitas dan kemampuan digital, tetapi juga masyarakat di daerah-daerah terpencil.
Namun tentu saja, digitalisasi tidak akan bisa berjalan tanpa adanya infrastruktur yang memadai. Menurut Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, masih ada 57 juta penduduk di Indonesia yang masih belum tersentuh layanan internet hingga 2024 dan mayoritas berasal dari desa dan kelurahan terpencil. Data ini menunjukkan bahwa pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah besar yang harus segera diatasi agar semua warga bisa terlibat dalam kebangkitan teknologi nasional.
Namun, menyediakan infrastruktur digital saja jelas tidak cukup untuk mengubah status Indonesia dari sekadar konsumen menjadi produsen teknologi. Pemerintah juga harus meningkatkan literasi digital masyarakat. Tujuannya agar kemajuan teknologi yang dibangun bisa benar-benar memberikan manfaat yang positif bagi warganya.
Sebab pada akhirnya, semua ini bukan soal seberapa canggih teknologi yang kita punya, tetapi bagaimana kita bisa menggunakannya untuk menyelesaikan masalah sehari-hari. Jadi, tanpa pemahaman yang mendalam, masyarakat khususnya mereka yang tinggal di daerah terpencil, berisiko tertinggal dalam arus digitalisasi.
Jadi, melalui peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional, kamu tidak hanya diajak untuk melihat masa lalu dengan penuh rasa bangga, tetapi juga mampu menatap masa depan dengan kesadaran kritis. Indonesia memang punya sejarah hebat dalam inovasi, tetapi kita hidup di masa sekarang yang menuntut langkah konkret.
Untuk itu, jangan merasa puas hanya sebagai pengguna teknologi dari negara lain. Indonesia punya peluang besar untuk ikut berperan sebagai produsen teknologi. Tak melulu harus menghasilkan produk baru secara mandiri, minimal Indonesia mampu memperkuat inovasi, riset, dan manufaktur dalam rantai pasok global. Namun tentu saja mimpi ini hanya bisa diwujudkan jika ada komitmen kuat dan kesadaran bersama dari pemerintah, swasta, dan masyarakat Indonesia sendiri.