Hari Sumpah Pemuda: Peran Anak Muda di Tengah Polarisasi Sosial

Hari Sumpah Pemuda menjadi pengingat betapa pentingnya peran generasi muda melawan polarisasi di era digital. Simak selengkapnya di sini.
Sumber : Envato

Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda yang merupakan momen bersejarah lahirnya semangat persatuan di kalangan pemuda pada saat itu. Hampir satu abad berlalu sejak 1928, tetapi nilai-nilai dan semangat perjuangan para pemuda kala itu masih tetap relevan hingga sekarang.

Saat ini, arus informasi dari kanal-kanal digital makin tak terbendung dan menjadi salah satu pemicu meningkatnya polarisasi sosial. Alhasil, para generasi muda saat ini pun harus dihadapkan dengan tantangan baru, yakni bagaimana caranya menjaga persatuan di era digital yang serba cepat, cenderung bising, dan bahkan bisa memecah belah ini.

Polarisasi Sosial di Indonesia Saat Ini

Hari Sumpah Pemuda
Sumber : Envato

Fenomena polarisasi sosial bukan hanya istilah akademik, melainkan sudah menjadi kenyataan yang sebenarnya bisa kamu lihat di berbagai lini kehidupan. Mulai dari media sosial, ruang publik, hingga meja makan keluarga, perbedaan pandangan kerap kali berubah menjadi permusuhan.

Di Indonesia, polarisasi makin terasa sejak momen Pemilu 2014 dan 2019 yang menunjukkan adanya perbedaan pilihan politik yang melahirkan istilah “cebong” dan “kampret”. Label ini tak hanya mengotori ruang digital, tetapi juga menjadi luka sosial yang dalam.

Menurut data dari Komdigi, hingga awal 2024 sudah tercatat lebih dari 2.800 konten hoaks yang beredar di kanal-kanal digital dan sebagian besar berkaitan dengan isu politik. Informasi palsu ini memperkuat potensi perpecahan sosial karena algoritma media sosial sering kali menampilkan konten-konten yang sesuai dengan preferensi pengguna. Akibatnya, pengguna terjebak dalam echo chamber, yakni ruang digital yang hanya memperdengarkan opini yang selaras dengan pandangan kamu sendiri.

Di sisi lain, polarisasi tak hanya menyangkut soal pilihan politik. Polarisasi juga erat kaitannya dengan identitas sosial, agama, bahkan cara pandang terhadap masa depan suatu bangsa. Polarisasi bahkan bisa melahirkan masyarakat eksklusif yang sulit membuka dialog dengan perbedaan.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI, Prof. Abdul Mu’ti dalam webinar internasional Literasi Keagaman Lintas Budaya menyampaikan bahwa era digital memang memudahkan siapa saja untuk berinteraksi. Namun, era ini juga menjerumuskan masyarakat pada “kedangkalan berpikir”. Orang hanya cenderung mencari pembenaran atas apa yang mereka yakini, bukan mencari kebenaran.

Posisi Anak Muda di Tengah Polarisasi

Polarisasi dan generasi muda saling berkaitan. Generasi muda khususnya gen Z dan milenial merupakan digital native. Di satu sisi, mereka juga berada di garis depan perubahan sosial. Dengan akses luas ke teknologi dan ruang publik digital, generasi muda memiliki kekuatan untuk membangun diskusi sehat atau bahkan memecah belahnya.

Abdul Mu’ti mengingatkan bahwa pemuda masa kini harus belajar dari perjuangan para pemuda yang mengikrarkan Sumpah Pemuda. Mereka semua datang dari berbagai latar belakang, seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Ambon, dan Jong Islamieten Bond. Namun, mereka memilih bersatu untuk memperjuangkan cita-cita besar bernama Indonesia. Nilai itu sangat relevan hingga hari ini, terutama ketika melihat dunia digital yang cenderung memunculkan budaya konformitas, yakni budaya ketika masyarakat merasa nyaman mendengarkan apa yang sepemikiran dengan mereka.

Sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Presidium Mafindo, Septiaji Eko Nugroho dalam webinar seri Literasi Keagaman Lintas Budaya, literasi digital menjadi senjata utama untuk melawan polarisasi. Mafindo bersama jaringan media membangun beberapa situs seperti turnbackhoax.id dan cekfakta.com agar masyarakat mampu memverifikasi kebenaran informasi dengan cepat. Namun, teknologi saja tidak akan cukup dan ini harus dibarengi dengan kesadaran kritis dari setiap individu. Sebab itu, kemampuan berpikir kritis, analitis, dan evaluatif harus terus diasah.

Lebih jauh, Desca Lidya Natalia, Kepala Biro ANTARA di Beijing, dalam webinar yang sama juga menekankan pentingnya berpikir kritis dan mengenali bias dalam membaca berita digital. Ia mengingatkan bahwa tak ada satu pun media yang 100% netral. Oleh sebab itu, sebagai pembaca, kamu harus menelusuri berbagai sumber informasi, mempertimbangkan kredibilitas penulis, dan memahami konteks sebelum membagikan informasi. Dengan begitu, kamu turut berperan dalam menjaga ruang digital agar tetap sehat dan produktif.

Bagaimana Sumpah Pemuda Bisa Menjadi Inspirasi

Hari Sumpah Pemuda
Sumber : Envato

Di era sekarang ini, Sumpah Pemuda lebih dari sekadar dokumen sejarah. Sumpah Pemuda bisa dimaknai sebagai simbol dari kemampuan generasi muda dalam mengatasi perbedaan. Para pemuda saat itu mampu mengesampingkan identitas kedaerahan untuk menciptakan satu identitas kebangsaan yang lebih besar.

Kini, semangat itu perlu diterjemahkan ualng dalam ranah digital. Jika dahulu para pemuda menyatukan visi dan misi bangsa lewat kongres di Batavia, maka sebagai generasi muda kamu bisa melanjutkannya dengan membangun ruang dialog yang sehat di media sosial.

Seperti yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Maarif Institute, Andar Nubowo, dunia digital harus senantiasa diisi dengan energi positif. Ia mengajak generasi muda untuk merebut ruang digital dengan narasi yang sifatnya membangun, bukan memecah.

Kampanye sosial yang bertajuk #IndonesiaBicaraBaik yang diiniasi oleh komunitas humas muda di Jakarta menjadi salah satu contoh nyata. Gerakan ini mengajak anak muda untuk menjadi pemimpin naratif yang berani menyebarkan konten-konten positif, mengedepankan empati, dan membangun personal branding yang beretika. Dengan cara ini, maka semangat Sumpah Pemuda bisa dihidupkan kembali melalui tindakan konkret.

Tentunya, pendidikan juga memegang peran penting. Seperti yang disampaikan oleh Matius Ho, Direktur Eksekutif Institut Leimena, kemampuan berpikir tingkat tinggi atau kritis harus menjadi fondasi bagi generasi muda. Tanpa memiliki kemampuan berpikir kritis, pemuda mudah terjebak dalam hoaks, ujaran kebencian, dan bahkan menjadi pelaku penyebaran hoaks itu sendiri.

Jadi, Hari Sumpah Pemuda tidak hanya untuk mengenang semangat para pemuda di zaman kolonial. Momen ini juga berfungsi untuk menegaskan kembali peran para pemuda sebagai pemersatu bangsa, bukan pemecah belang bangsa demi kepentingan suatu kelompok. Ingat, persatuan bangsa tidak lahir dari keseragaman, melainkan dari keberanian untuk mengesampingkan dan memahami perbedaan untuk satu tujuan yang sama.

Leave a Reply