Harga kebutuhan hidup terus meroket tiap tahun. Sayangnya, kenaikan ini tidak diimbangi dengan kenaikan gaji. Kalau kamu juga merasakannya, tenang kamu nggak sendiri. Pasalnya, fenomena ini bukan cuma dirasakan perorangan atau rumah tangga, tetapi mencerminkan kondisi ekonomi nasional yang disebut dengan middle income trap atau jebakan kelas menengah.
Kondisi ini bikin negara susah naik kelas menjadi negara maju. Kalau dibiarkan, maka kondisi Indonesia akan stagnan selama puluhan tahun. Namun, apakah mustahil bagi kita untuk keluar dari jebakan ini?
Middle income trap adalah kondisi ketika suatu negara berhasil keluar dari kelompok negara berpendapatan rendah tetapi gagal untuk melanjutkan transisi menjadi negara maju. Dalam kondisi ini, pertumbuhan ekonomi negara akan stagnan begitu mencapai status pendapatan menengah.
Sementara itu menurut klasifikasi World Bank, negara yang masuk dalam kategori menengah adalah negara yang pendapatan nasional bruto (GNI) per kapitanya antara 1.136 hingga 13.845 dolar AS per tahun. Indonesia sendiri pertama kali masuk ke dalam kategori menengah pada 2004 dan hingga kini masih di tertahan di sana.
Masalahnya, pertumbuhan ekonomi RI cenderung melambat sejak satu dekade terakhir. Memang, pertumbuhan sebanyak 5% per tahun terdengar cukup, tetapi belum cukup tinggi untuk membawa Indonesia masuk ke dalam kategori negara maju. Untuk bisa dikatakan negara maju, maka pertumbuhan ekonomi rata-rata minimal 6-7% per tahun secara berkelanjutan.
Ada banyak faktor struktural yang menjadi penyebab di balik terjadinya middle income trap. Awalnya, negara berkembang seperti Indonesia tubuh pesat karena murahnya upah pekerja dan menjamurnya industri padat karya.
Hanya saja, seiring dengan meningkatnya biaya produksi, Indonesia bisa dibilang sudah tidak cukup kompetitif jika dibandingkan dengan negara dengan upah rendah seperti Vietnam atau Bangladesh. Sayangnya, Indonesia sendiri juga masih belum siap bersaing dengan negara maju dalam hal inovasi, riset, dan teknologi tinggi.
Selain itu, masih ada beberapa penyebab lain dari munculnya kondisi middle income trap:
Harus diakui bahwa ekonomi Indonesia masih bergantung pada ekspor komoditas mentah seperti batu bara, nikel, dan sawit. Tanpa adanya pengolahan kembali untuk menambah nilai jual produk, maka Indonesia hanya akan terus menjual bahan mentah, bukan produk jadi maupun setengah jadi. Namun sejak tahun 2015, Indonesia mulai menggenjot program hilirisasi guna meningkatkan nilai jual produk ekspor sekaligus memperkuat ekonomi nasional.
Lulusan institusi pendidikan di Indonesia masih belum berkualitas karena banyak yang belum dibekali kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan industri masa kini. Akibatnya, produktivitas tenaga kerja cenderung stagnan.
Masalah birokrasi masih menjadi momok yang menghalangi Indonesia untuk masuk ke dalam kategori negara maju. Misalnya investasi asing yang gagal menanam modal di Indonesia begitu melihat sistem perizinan yang rumit dan maraknya aksi premanisme dari organisasi masyarakat. Selain itu, infrastruktur yang tidak merata, khususnya di luar Jawa, karena otoritas daerah yang kurang mampu menjalankan tanggung jawabnya.
Banyak keluarga menengah lebih memilih melakukan konsumsi secara jor-joran alih-alih investasi atau menabung. Bahkan layanan kredit untuk konsumsi didominasi oleh kelompok menengah. Hal ini didasari oleh kebiasaan ingin tampil seperti kelas atas, padahal kondisi keuangan masih terbatas.
Jika Indonesia tidak bisa keluar dari jebakan kelas menengah, maka Indonesia akan gagal jadi negara maju. Masa depan kita dan anak-anak kita juga akan terancam.
Meskipun Indonesia memiliki bonus demografi, kondisi ini kemungkinan hanya akan berlangsung hingga awal 2040-an. Ini artinya, Indonesia hanya memiliki waktu kurang dari dua dekade untuk melakukan loncatan ekonomi yang signifikan.
Sementara itu, menurut survei LPEM FEB UI 2024 yang dikutip oleh Media Keuangan Kemenkeu, hanya sekitar 17% kelas menengah Indonesia yang tergolong stabil. Sisanya rentah jatuh ke kategori miskin jika terjadi guncangan kecil, seperti kehilangan pekerjaan atau inflasi tinggi. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa mobilitas sosial di Indonesia rapuh.
Lebih lanjut, ekonomi Indonesia masih bergantung pada sektor informal dan pekerjaan berupah rendah. Nah, ketika mayoritas tenaga kerja tidak mendapatkan penghasilan tetap atau bahkan jaminan sosial, maka ekonomi menjadi tidak resilien. Akibatnya, kondisi ini menghambat pertumbuhan produktivitas nasional.
Middle income trap bukan kutukan yang tidak bisa kita hindari. Negara-negara seperti Korea Selatan dan Irlandia berhasil keluar dari jebakan ini melawan reformasi besar-besaran dan kebijakan jangka panjang yang konsisten. Lantas, apa yang kira-kira bisa dilakukan Indonesia untuk keluar dari kondisi ini?
Langkah pertama untuk mulai keluar dari jebakan kelas menengah adalah dengan meningkatkan nilai tambah industri melalui hilirisasi. Program ini sudah dimulai sejak era kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Hilirisasi di Indonesia dimulai dengan pelarangan ekspor nikel mentah dan dibangunnya smelter dalam negeri di beberapa daerah di Indonesia. Kebijakan ini ditetapkan melalui Permen ESDM 11/2019. Hasilnya, nilai ekspor nikel yang telah diolah meroket drastis. Pada 2024, nilai ekspor komoditas nikel mencapai 30 miliar dolar AS atau setara dengan 486,56 triliun rupiah.
Harus diakui bahwa SDM adalah fondasi utama untuk bisa keluar dari middle income trap. Untuk mengatasinya, maka pemerintah harus terus meningkatkan kualitas pendidikan dan disesuaikan dengan kebutuhan industri. Pemerintah bisa berinvestasi pada pendidikan-pendidikan vokasi, pelatihan teknologi, dan riset. Selain itu, kolaborasi antara kampus, industri, dan lembaga riset juga harus ditingkatkan agar lulusannya memiliki bekal yang dibutuhkan oleh industri.
Sementara itu, sebagai individu, kamu harus terus meng-upgrade diri dan jangan berhenti pada satu jenis keterampilan saja. Kamu bisa ikut pelatihan online, memperbanyak skill digital, dan mencari sumber penghasilan tambahan. Ini lantaran perubahan ekonomi bisa dimulai dari perubahan di level rumah tangga.
Reformasi birokrasi melalui UU Cipta Kerja adalah salah satu gebrakan penting. Melalui regulasi tersebut, pemerintah menyederhanakan regulasi dan proses perizinan untuk mempercepat masuknya investasi. Selain itu, sistem OSS (Online Single Submission) juga harus diperkuat dan diterapkan secara konsisten di seluruh daerah di Tanah Air.
Selain itu, pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan, dan kawasan industri yang memadai juga harus dilanjutkan. Hal ini agar seluruh daerah turut menjadi magnet investasi dan tidak hanya fokus di Jawa.
Indonesia termasuk negara dengan potensi ekonomi digital dan transisi energi yang cukup besar. Sektor-sektor seperti e-commerce, fintech, dan green energy bisa menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi.
Misalnya, kawasan industri hijau di Bulungan, Kalimantan Utara yang diproyeksikan akan menjadi kawasan industri hijau terbesar di dunia dan bisa menjadi pusat produksi baterai kendaraan listrik, mengingat Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia.
Stabilitas ekonomi makro tetap memainkan peran penting. Pemerintah harus mampu mengendalikan inflasi, menjaga kurs rupiah, dan memperkuat APBN sebagai shock absorber di masa krisis. Strategi ini sudah pernah dilakukan selama pandemi COVID-19, perang Rusia-Ukraina, dan perang dagang saat ini.
Jadi, middle income trap adalah kondisi yang terjadi saat ini. Namun, bukan berarti Indonesia tidak bisa keluar dari jebakan tersebut. Saat ini, Indonesia punya waktu hingga 2045 untuk memaksimalkan pemanfaatan bonus demografi dan membuktikan bahwa kita bisa menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia.