Co-living: Konsep Hunian Milenial yang Sedang Naik Daun

Co-living: Konsep Hunian Milenial yang Sedang Naik Daun

Kenaikan harga properti, khususnya di kawasan perkotaan, telah mendorong munculnya beragam solusi inovatif untuk menawarkan hunian dengan harga terjangkau. Salah satu konsep hunian yang kini sedang banyak diperbincangkan, terutama di kalangan generasi milenial, adalah co-living. Apa itu co-living? Simak definisi, keungglan dan kekurangannya, serta melihat tren pasar co-living.

Konsep Hunian

Apa Itu Co-living?

Co-living adalah konsep hunian berbasis komunitas yang perlahan-lahan mengubah cara masyarakat, terutama di Indonesia, dalam memandang tempat tinggal. Dalam konsep hunian co-living, tiga atau lebih individu yang tidak memiliki ikatan darah tinggal bersama di bawah satu atap dengan kamar atau ruang pribadi masing-masing dan ruang bersama.

Co-living tak bisa sekadar dianggap sebagai tempat tinggal, melainkan juga untuk menciptakan komunitas tempat para penghuni bisa saling berinteraksi. Selain itu, co-living menjadi wadah untuk berbagi pengalaman dan membangun relasi yang kuat. 

Konsep co-living sendiri mencakup beragam jenis bentuk hunian, mulai dari rumah tapak hingga apartemen dengan fasilitas modern seperti kolam renang, co-working space, laundry, dan gym. Salah satu hal yang menarik dari konsep hunian ini adalah harga sewa yang ditawarkan lebih terjangkau dibanding menyewa rumah atau apartemen sendiri.

Di sisi lain, co-living menawarkan fleksibilitas terkait durasi sewa, ada yang harus dibayarkan secara mingguan atau bahkan bulanan. Jadi, konsep hunian co-living ditujukan untuk menciptakan lingkungan yang bisa mendorong terjadinya gaya hidup berkomunitas. Selain itu, konsep ini juga menawarkan pengalaman tinggal yang lebih dari sekadar tempat untuk beristirahat, seperti indekos pada umumnya.

Konsep Co-Living

Perlu diketahui bahwa konsep hunian co-living yang sedang populer ini adalah perkembangan dari konsep yang sudah ada sebelumnya. Konsep untuk menciptakan dan berbagi area komunal serta membentuk komunitas merupakan hal yang sudah ada cukup lama.

Melansir laman Coliving, sebuah gagasan muncul di Denmark pada awal abad ke-20 bahwa keluarga besar akan lebih menghemat waktu, sumber daya, dan uang bila berbagi dapur umum. Maksudnya adalah setiap anggota yang ikut dalam komunitas tersebut akan memiliki kamarnya sendiri, tetapi hanya terdapat satu buah dapur dan ruang berkumpul. Hunian co-living juga sudah fully furnished dan memiliki fasilitas yang lengkap.

Keunggulan dan Kekurangan Konsep Co-living

Co-living adalah sebuah tren hunian yang making populer, terutama di kalangan generasi milenial. Tren ini menawarkan sejumlah keunggulan yang menarik, tetapi juga memiliki beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan. Adapun beberapa keunggulannya adalah sebagai berikut.

1. Harga sewa terjangkau

Salah satu keunggulan utama co-living adalah harganya yang terjangkau dibandingkan dengan menyewa atau membeli rumah maupun apartemen. Selain terjangkau, fasilitas yang ditawarkan juga sudah termasuk dalam biaya sewa. Jadi, hunian semacam ini bisa menjadi pilihan yang menarik bagi mereka yang ingin menghemat biaya tempat tinggal.

2. Fasilitas menarik

Co-living umumnya menawarkan fasilitas yang cukup lengkap, seperti gym, kolam renang, ruang cuci, dapur bersama, dan ruang kerja bersama (coworking space). Hal ini memberikan seluruh penghuni akses mudah ke fasilitas-fasilitas ini tanpa harus membayar tambahan, seperti di apartemen.

3. Fleksibilitas dalam masa sewa

Banyak pemilik properti co-living mengizinkan penyewa untuk memilih durasi sewa yang sesuai dengan kebutuhan mereka, mulai dari sewa harian, mingguan, bulanan, hingga tahunan. Fleksibilitas ini memungkinkan kamu untuk menyesuaikan tempat tinggal dengan perubahan hidup kamu.

Selain ketiga keunggulan utama di atas, tinggal di hunian co-living juga ada kekurangannya. Adapun kekurangannya adalah sebagai berikut:

1. Masalah privasi

Salah satu kelemahan utama konsep hunian co-living adalah keterbatasan privasi. Meskipun kamu memiliki kamar atau ruang pribadi, kamu masih harus berbagi ruang bersama, seperti dapur, dengan penghuni lain. Hal semacam ini mungkin tidak sesuai bagi mereka yang membutuhkan tingkat privasi lebih tinggi.

2. Cenderung ramai

Co-living umumnya menawarkan komunitas yang cukup aktif sehingga bisa menciptakan suasana yang ramai. Namun, bagi mereka yang membutuhkan lingkungan tempat tinggal yang tenang, konsep hunian co-living mungkin kurang cocok.

3. Terbatas pada daerah tertentu

Co-living merupakan konsep hunian modern yang sayangnya hanya tersedia di kawasan-kawasan perkotaan besar. Di kota-kota kecil, konsep hunian ini belum ada dan bahkan masyarakat pun masih asing dengan istilah hunian co-living. Di Indonesia, konsep hunian co-living bisa ditemukan di Bali meskipun jumlahnya belum banyak. Di sisi lain, hunian ini lebih banyak ditempati oleh para pendatang atau digital nomad.

Tren Pasar Co-living

Konsep hunian co-living sudah terlebih dahulu menjamur di negara-negara maju. Namun, banyak juga negara berkembang yang mulai mengadopsi konsep tempat tinggal ini, salah satunya Cina. Di Cina, terdapat konsep hunian co-living yang disebut You+ yang hingga kini telah berhasil menyatukan sekitar lebih dari 10 ribu penghuni di 25 cabang di seluruh Cina.

Menurut laman QZ, You+ hadir dengan menawarkan kamar atau ruang pribadi dengan ukuran 20 meter sampai 50 meter persegi. Per kamar dikenai harga sewa sekitar 2.000 yuan atau setara dengan Rp4,3 juta per bulan. Harga tersebut bisa dibilang cukup terjangkau dengan segala fasilitas yang ditawarkan, seperti kamar mandi pribadi, dapur bersama, dan ruang kumpul bersama. 

Sementara itu, di Indonesia, konsep co-living memang belum setenar di Cina. Menurut Lenny Sinaga dalam liputan Ekonomi Bisnis, konsep co-living akan berkembang di kawasan Jabodetabek. Alasannya karena wilayah tersebut memiliki koneksi dengan bisnis, kualitas hidup, hiburan, dan hal lainnya yang berkaitan gaya hidup para milenial.

Seorang peneliti dari University of Sydney Business School, Tim Mahlberg, menyebutkan konsep hunian co-living memang menyasar milenial yang umumnya ingin tinggal di mana saja dan ingin menjalani hidup yang lebih produktif. Menurut Mahlberg, co-living juga dapat membantu milenial untuk membangun relasi bisnis di mana pun.

Jadi, sangat menarik sekali adanya konsep co-living di kota-kota besar di Indonesia. Pasalnya, harga beli dan sewa properti sudah makin tidak wajar. Di sisi lain, orang terus membutuhkan tempat tinggal atau ruang privasi dengan harga yang lebih terjangkau agar mereka bisa tetap mengembangkan kualitas hidup tanpa harus terlalu dibebani dengan masalah papan.

Leave a Reply