Laporan Survei AFTECH 2022/2023: Lanskap Pasar, Tren, dan Tantangan

Laporan Survei AFTECH 2022/2023: Lanskap Pasar, Tren, dan Tantangan

Sejak tahun 2017, Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) mempublikasikan laporan Annual Members Survey (AMS) atau Laporan Survei Anggota secara berkala. Hal ini ditujukan untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan terkini, peluang, serta tantangan yang ada dalam industri fintech di Indonesia.

Laporan terbaru, yakni AMS 2022/2023, disusun bersama Katadata Insight Center (KIC) dengan dukungan dari Women’s World Banking (WWB). Laporan kali ini mengusung tema “Fintech Indonesia: Mantap Melangkah ke Arah Keberlanjutan dan Inklusi”.

Dalam laporan ini, AFTECH menyoroti beberapa aspek krusial dalam ekosistem fintech di Indonesia. Untuk memahaminya lebih lanjut, simak ulasan berikut ini.

Lanskap Fintech di Indonesia

Laporan Survei AFTECH

Industri fintech di Indonesia memiliki posisi yang dominan di antara semua negara di Asia Tenggara. Melansir laporan “Fintech in ASEAN: Finance, Reimagined” yang diterbitkan oleh PwC, UOB, dan Singapore Fintech Association (SFA), Indonesia tercatat menerima sebesar 33% dari seluruh pendanaan industri financial technology di seluruh wilayah Asia Tenggara.

Angka tersebut menunjukkan adanya peningkatan sebesar 11 poin persentase dibandingkan periode sebelumnya. Pada 2021/2022, Indonesia berada di posisi kedua tertinggi setelah Singapura yang menerima sekitar 43% dari seluruh pendanaan untuk sektor fintech. Pertumbuhan pendanaan tersebut selaras dengan masifnya kemunculan perusahaan fintech di dalam negeri.

Memasuki penghujung tahun 2022, tercatat ada 366 perusahaan yang menjadi anggota AFTECH. Ini mengindikasikan adanya pertumbuhan yang signifikan dibanding akhir tahun 2020 dengan 302 anggota dan akhir 2021 dengan 352 anggota.

Sementara itu, meninjau model bisnis fintech di Indonesia, ada tiga model bisnis yang paling banyak dimiliki oleh anggota AFTECH, yakni:

  • pinjaman online sebanyak 30%
  • inovasi keuangan digital (IKD) sebanyak 25,9%
  • pembayaran digital sebanyak 11,8%

Masifnya industri fintech di Indonesia tentu tak terjadi begitu saja. Ada beberapa faktor yang memengaruhinya, di antaranya:

  • jumlah penduduk yang masuk dalam usia kerja
  • pertumbuhan ekonomi berbasis teknologi dan internet
  • tingginya jumlah penduduk yang belum memiliki akses ke layanan bank (underbanked) dan sudah memenuhi syarat untuk mendapatkan akses ke layanan bank, tetapi memilih untuk tidak melakukannya (unbanked).
  • literasi dan inklusi keuangan, khususnya digital
  • regulasi yang ditetapkan otoritas setempat
  • investasi yang terus mengalir ke industri fintech

Menariknya, AMS 2022/2023 melaporkan bahwa sekitar 64% perusahaan fintech yang menjadi anggota AFTECH baru didirikan dalam kurun waktu 0 hingga 5 tahun terakhir. Ini menunjukkan bahwa mayoritas perusahaan fintech di dalam negeri adalah perusahaan rintisan atau startup.

Sementara itu, dari sisi jumlah tenaga kerja, sekitar 50,7% perusahaan fintech memiliki kurang dari 50 karyawan. Sebanyak 92% dari perusahaan-perusahaan tersebut berada di wilayah Jabodetabek. Hal ini sangat wajar sebab Jabodetabek merupakan pusat kegiatan ekonomi, politik, dan budaya. Selain itu, kawasan Jabodetabek juga memiliki akses yang solid ke pasar bisnis dan konsumen, infrastruktur teknologi yang memadai, dan ekosistem inovasi yang cukup dinamis.

Dalam hal permintaan, mayoritas pengguna fintech merupakan individu dengan 42,7 poin persentase. Mayoritas dari mereka berada di rentang usia 26-35 tahun dengan penghasilan antara Rp5 juta hingga sekitar Rp10 juta. 

Lebih lanjut, mayoritas pengguna fintech berasal dari berbagai wilayah di Pulau Jawa, terutama Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Selain individu, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga menjadi pengguna layanan fintech, yakni sebanyak 28%.

Tren Tech Winter dan Investasi

Laporan Survei AFTECH

Dalam laporan AMS 2022/2023, disebutkan adanya fenomena tech winter yang dapat memengaruhi pelaku industri teknologi dan startup. Dengan kata lain, sektor fintech di Indonesia pun juga terkena dampaknya, khususnya perihal melakukan inovasi guna mendapatkan keuntungan.

Secara garis besar, tech winter merupakan istilah untuk menggambarkan kondisi startup teknologi yang mulai gugur atau pailit satu per satu. Untuk menghadapi fenomena ini, sebanyak 66,7% fintech Indonesia memilih untuk lebih fokus pada produk yang dapat menghasilkan profit tinggi. Sementara, 12% lainnya memilih untuk mengubah model bisnis mereka.

Guna menghadapi tantangan ekonomi akibat pandemi dan tech winter, para pelaku industri fintech juga melakukan berbagai upaya untuk menekan biaya operasional. Upaya yang dimaksud antara lain adalah layoff (84% perusahaan) dan keputusan untuk tidak merekrut tenaga kerja baru dalam beberapa waktu dekat (76%).

Namun di balik situasi ekonomi yang kurang positif, investasi dalam sektor fintech masih menunjukkan performa yang cukup baik. Beberapa pelaku fintech justru berpendapat bahwa tech winter adalah momentum yang tepat untuk terus menciptakan inovasi. AMS 2022/2023 mencatat bahwa:

  • 52% fintech berencana untuk menggalang dana
  • 26,7% fintech merasa tidak membutuhkan tambahan modal
  • 18,7% fintech merasa sudah cukup dengan pendanaan saat ini

Tantangan dalam Ekosistem Fintech

Laporan Survei AFTECH

Pertumbuhan sektor fintech di Indonesia tentu tak bisa lepas dari sejumlah tantangan, di antaranya terkait keamanan data. Guna mengatasi berbagai tantangan dalam ekosistem fintech, diperlukan penguatan pengaturan dan regulasi. Dalam upaya ini, pemerintah Indonesia telah mengesahkan UU No. 27 Tahun 2022 mengenai Perlindungan Data Pribadi dan UU No. 4 Tahun 2023 mengenai Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

Sebanyak 10,7% responden mengaku sangat setuju dan sisanya sekitar 76% menyatakan setuju bahwa regulasi saat ini mendukung inovasi. Hanya saja, para pelaku industri fintech masih berharap untuk diberikan lebih banyak kelonggaran dalam regulasi dan juga pemberian insentif. Ada beberapa aspek regulasi yang diharapkan pelaku fintech dapat ditingkatkan, di antaranya:

  • privasi dan keamanan data sekitar 68,0%
  • kejelasan regulasi sebanyak 60,0%
  • e-KYC sebanyak 54,7%
  • kecepatan perizinan dan pengurangan birokrasi sebanyak 49,3%
  • pengaturan tanda tangan digital sebanyak 42,7%

Keamanan data pengguna menjadi fokus utama pelaku industri fintech Indonesia. AMS 2022/2023 mencatat bahwa 44% fintech telah memiliki data center dan 65% lainnya memiliki divisi Computer Emergency Response Team (CERT). Selain itu, jumlah keluhan mengenai kegagalan sistem juga mengalami penurunan menjadi 13% dari 21%. Ini menunjukkan adanya perbaikan dalam sistem fintech yang menjadi anggota AFTECH.

Sementara itu, dalam upaya melindungi data konsumen, sebanyak 88% perusahaan fintech telah melaksanakan berbagai program, seperti:

  • edukasi literasi konsumen
  • pencegahan penyalahgunaan data pribadi
  • garansi dan jaminan untuk melindungi konsumen dari kerugian finansial

Kendati demikian, masih ada beberapa kendala terkait perangkat teknologi. Sekitar 64% pelaku fintech berpendapat bahwa produsen dalam negeri belum bisa memenuhi kebutuhan akan teknologi yang diperlukan industri fintech.

Selanjutnya menilik dari sudut pandang sumber daya manusia, sebanyak 73,3% perusahaan fintech lebih suka mempekerjakan tenaga kerja dalam negeri. Alasannya karena pekerja tersebut memiliki pemahaman yang lebih baik tentang lanskap bisnis fintech dalam negeri dan mudah untuk diajak berkoordinasi. Kendati demikian, masih ada beberapa kesenjangan dalam beberapa keterampilan krusial yang dibutuhkan sektor fintech, yakni:

  • keamanan siber sebesar 57,3%
  • analisis data sebesar 52,3%
  • pengetahuan industri keuangan sebesar 49,3%

Demikianlah rangkuman laporan survei AFTECH 2022/2023. Dari ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa sektor fintech Indonesia terus berkembang dan memiliki potensi besar untuk mendorong inklusi keuangan dalam negeri.

Leave a Reply