Kamu mungkin sering mendapati anak-anak zaman sekarang terlalu sering menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial. Memang, media sosial menawarkan banyak jenis hiburan dan akses informasi instan. Namun, kalau terlalu dini dan tidak ada pengawasan orang tua, media sosial bagi anak bisa jadi bumerang, baik bagi anak maupun orang tua.
Sementara itu, negara-negara luar seperti Australia dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat memiliki regulasi agar anak-anak terlindungi dari bahaya konten-konten digital. Lantas, bagaimana fenomena ini di Indonesia?
Sebelum bicara soal boleh atau tidak, mari pahami terlebih dahulu faktanya saat ini. Indonesia sendiri adalah salah satu negara dengan pengguna internet terbesar di dunia, yakni mencapai 221 juta atau sekitar 79,5% dari seluruh populasi Indonesia.
Sementara itu, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menunjukkan bahwa 39,71% anak usia dini di Indonesia sudah menggunakan smartphone dan 35,57% lainnya bahkan sudah menggunakan internet. Data dari Komdigi juga menunjukkan bahwa sebanyak 9,17% pengguna internet di Indonesia adalah anak-anak di bawah 12 tahun.
Bukan hanya itu saja, survei Goodstats (2025) bahkan menyebutkan bahwa hampir 68 peserta didik usia 5-24 tahun menggunakan internet untuk mengakses media sosial. Padahal, mereka yang berusia di bawah 16 tahun adalah anak-anak yang rentan terhadap konten-konten berbahaya di media sosial. Jadi, bisa dibayangkan betapa besar efeknya jika penggunaan media sosial bagi anak dibiarkan tanpa pengawasan.
Banyak pemerintah di negara maju sudah menerapkan pembatasan ketat terhadap akses media sosial bagi anak. Contohnya, Jerman dan Prancis mewajibkan persetujuan dari orang tua jika anak ingin membuat akun media sosial. Bahkan Australia menetapkan batas usia 16 dan memberikan sanksi bagi platform digital yang melanggar regulasi tersebut.
Bahkan, tanpa peran pemerintah pun banyak orang tua di negara maju yang melarang anak mereka memiliki akun media sosial pribadi sebelum mereka cukup umur. Langkah-langkah ini diambil karena pemerintah dan masyarakatnya sadar betul terhadap risiko psikologis, sosial, dan kriminal yang dapat mengancam keselamatan anak. Misalnya saja, cyberbullying, body shaming, hingga eksploitasi seksual melalui kanal sosial dan online game.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia?
Sayangnya, pendekatan kita terhadap pentingnya perlindungan anak di ruang digital masih sangat longgar. Pemerintah sendiri sebenarnya sedang menggodok regulasi baru terkait Tata Kelola Perlindungan Anak dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik. Hanya saja, regulasi tersebut masih mengundang pro dan kontra publik, khususnya terkait batasan sekaligus jaminan umur anak.
Fakta dari Komdigi juga menyebutkan bahwa 13% anak-anak Indonesia memiliki akun media sosial rahasia tanpa sepengetahuan orang tua mereka. Dengan kata lain, ini bukan sekadar soal platform digital yang minim fitur keamanan, tetapi juga mencerminkan minimnya keterlibatan orang tua dalam kehidupan digital anak.
Di banyak kasus, orang tua Indonesia memang ada secara fisik di rumah, tetapi jarang dari mereka yang mampu hadir secara emosional. Mereka membiarkan anak larut bermain smartphone dan bahkan membuka media sosial karena mereka tidak tahu harus bersikap apa. Sebagian bahkan masih menganggap media sosial hanyalah hiburan biasa, tanpa menyadari adanya potensi bahaya di baliknya.
Lebih jauh, tingkat literasi digital Indonesia masih rendah pada 2024, yakni 43,34. Dengan kata lain, masih banyak orang tua yang belum paham bagaimana caranya memantau aktivitas daring anak. Mereka juga belum tahu bahwa konten-konten di platform seperti TikTok bisa memiliki dampak psikologis bagi anak usia dini. Terlebih jika mereka terlalu sering mengonsumsi konten video pendek, yang ada mereka akan mengalami brain rot.
Inilah yang membuat Indonesia sangat kontras dengan negara-negara maju. Di sana, regulasi ketat berjalan beriringan dengan kesadaran bersama para orang tua akan pentingnya keterlibatan mereka. Sementara di Indonesia, masih banyak orang tua yang gagap menghadapi dunia digital karena keterbatasan akses informasi maupun karena menganggap internet adalah hal remeh.
Penggunaan media sosial bagi anak bukan hanya soal mengikuti gaya seleb atau ikut challenge kekinian saja, tetapi juga membawa banyak ancaman serius, di antaranya:
Dalam laporan UNICEF “Protecting Children Online”, lebih dari sepertiga anak di 30 negara pernah mengalami cyberbullying dan sekitar 1 dari 5 anak yang menjadi korban membolos sekolah gara-gara kejadian tersebut. Ini menunjukkan bahwa perundungan online bisa membuat emosi anak terganggu dan rentan mengalami masalah kecemasan hingga depresi.
Media sosial rentan menampilkan konten-konten yang tidak selayaknya dikonsumsi oleh anak di bawah umur, seperti kekerasan, pornografi, hingga ujaran kebencian. Mirisnya, NCMEC menempatkan Indonesia di peringkat keempat global dan kedua ASEAN untuk kasus pornografi anak di ranah digital.
Anak-anak masih belum bisa sepenuhnya memahami risiko saat mereka membagikan informasi pribadi di ranah online. Mereka mudah menjadi korban akun-akun predator atau dimanfaatkan untuk iklan-iklan berbahaya.
Konten-konten zaman sekarang yang cenderung tampil dalam bentuk video pendek membuat anak mudah kecanduan. Banyak studi menunjukkan bahwa scrolling media sosial tanpa henti, seperti TikTok, bisa merusak konsentrasi dan membuat performa belajar menurun.
Seperti yang dijelaskan di atas, masalah soal penggunaan media sosial bagi anak bukan hanya jadi tanggung jawab pemerintah dan platform digital, tetapi yang paling utama adalah orang tua. Sebab, peran orang tua dalam hal ini tidak cukup hanya melarang, tetapi harus hadir. Begini caranya:
Kalau anak mengatakan bahwa mereka memiliki akun medsos rahasia, kamu bisa menimpali mereka mengapa akun tersebut dibuat. Ini untuk menunjukkan bahwa kamu peduli, bukan memata-matai. Selain itu, kamu juga bisa meningkatkan komunikasi terbuka dengan anak terkait penggunaan media sosial dan alasan mengapa seharusnya mereka belum boleh memiliki medsos sendiri.
Jika memang anak sudah boleh menggunakan media sosial, orang tua tetap harus mengawasi. Kamu bisa menerapkan screen time maksimal 1-2 jam setelah tugas sekolah selesai. Selain itu, kamu juga wajib mengawasi apa yang mereka konsumsi di media sosial.
Nah, poin satu ini sebenarnya harus dimulai dari orang tua. Artinya, orang tua harus terlebih dahulu melek soal media sosial dan potensi di baliknya. Setelah itu, baru mereka bisa mengajari anak soal literasi digital, seperti cara membedakan konten hoaks dan fakta atau mengapa cyberbullying itu harus dihindari.
Tak sedikit orang tua yang memilih scrolling saat bermain dengan anak atau mungkin saat makan bersama, alhasil anak juga akan meniru. Untuk itu, jadilah contoh yang baik seperti menggunakan smartphone sewajarnya dan bukan saat bersama dengan anak. Selain itu, kamu juga bisa mengenalkan anak pada aktivitas yang lebih baik dari sekadar scrolling medsos, seperti membaca buku, memasak, olahraga, dan lain sebagainya.
Jadi, media sosial bagi anak di bawah umur bukan hanya soal pertanyaan boleh atau tidak, melainkan soal bagaimana mereka bisa tumbuh dengan aman di dunia digital. Untuk itu, perlu kolaborasi dari semua pihak, termasuk pemerintah, platform digital, dan pastinya orang tua, untuk menciptakan lingkungan digital yang aman bagi anak.