Mengapa Hunian Vertikal Kurang Laku di Indonesia?

Hunian vertikal kurang laku di Indonesia meskipun faktanya bisa menjadi solusi atas permasalahan keterbatasan lahan. Simak selengkapnya di sini.
Sumber : Envato

Jika melihat perkembangan tata ruang di Indonesia, seperti hunian bagi masyarakat, ada satu pertanyaan yang sering muncul yakni mengapa hunian vertikal kurang laku. Padahal, di tengah kondisi ketersediaan lahan yang makin menipis, hunian vertikal seperti rumah susun atau apartemen bisa menjadi solusi yang tepat. Namun, faktanya, minat masyarakat Indonesia terhadap jenis hunian ini masih kalah jauh jika dibandingkan dengan hunian tapak.

Data dari Rumah123 yang dilansir oleh Bloombergtechnoz menunjukkan bahwa sepanjang paruh pertama 2025, sebanyak 62,4% responden survei menyatakan lebih memilih rumah tapak. Sementara itu, permintaan terhadap apartemen hanya ada sekitar 11,6%. Angka ini menunjukkan bahwa meskipun hunian vertikal terus-menerus dibangun, mayoritas masyarakat Indonesia tetap memilih rumah tapak. Mengapa demikian?

Hunian Tapak Masih Jadi Primadona

Hunian vertikal
Sumber : Envato

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, rumah tapak dianggap lebih dari sekadar bangunan tempat tinggal. Rumah tapak kerap dianggap sebagai simbol kepemilikan riil karena berdiri di atas tanah yang bisa dimanfaatkan kembali atau diwariskan. Berbeda dengan rumah susun atau apartemen yang status kepemilikannya berupa Hak Guna Bangunan (HGB) dengan batas waktu tertentu.

Selain itu, rumah tapak cenderung lebih fleksibel untuk direnovasi. Kalau kamu ingin menambah kamar, menambah lantai, atau sekadar membangun taman, rumah tapak jelas lebih leluasa untuk diutak-atik. Sementara di apartemen atau rumah susun, kamu tidak bisa melakukan renovasi tanpa aturan dari pihak pengelola gedung. Inilah salah satu alasan mengapa rumah tapak masih menjadi primadona.

Sementara itu, dari sisi biaya, tinggal di rumah tapak di Indonesia cenderung lebih murah, sekalipun tinggal di cluster perumahan mewah. Pasalnya, tidak ada yang namanya iuran pengelolaan gedung, biaya parkir, atau bahkan service charge

Kendala Hunian Vertikal di Indonesia

Pada dasarnya, hunian vertikal bisa menjadi solusi untuk mengatasi masalah tata ruang atau keterbatasan lahan untuk hunian di Indonesia, khususnya di daerah perkotaan. Sayangnya, hunian vertikal tidak begitu diminati. Alasan mengapa hunian vertikal kurang laku adalah karena faktor budaya, ekonomi, dan aksesibilitas.

Faktor Budaya Sebagai Hambatan Utama 

Melansir laman Perkim, banyak masyarakat Indonesia sudah terbiasa tinggal di rumah tapak sehingga menganggap konsep hunian vertikal sebagai sesuatu yang asing. Seperti yang dijelaskan di atas, tinggal di rumah tapak ibarat sebagai simbol keberhasilan dan status sosial.

Selain itu, banyak masyarakat Indonesia yang sudah terbiasa dengan budaya bertetangga dan gotong royong. Sementara itu, kehidupan di hunian vertikal cenderung individualis. Tak ada ruang yang cukup untuk melakukan interaksi sosial, seperti arisan, kerja bakti, atau perayaan hari besar bersama tetangga. Akibatnya, tak sedikit orang yang menganggap bahwa tinggal di apartemen atau rusun bisa mengikis nilai kebersamaan yang identik dengan budaya bangsa Indonesia.

Selain karena budaya, faktor persepsi juga turut memengaruhi. Berdasarkan survei Jakarta Property Institute (JPI) yang dilansir oleh Perkim, sebanyak 46% responden milenial lebih menyukai rumah tapak dibanding apartemen. Alasannya karena hunian vertikal cenderung lebih mahal, baik jika dibeli secara tunai maupun kredit. Ditambah lagi, banyak yang menilai sistem HGB tidak sebanding dengan biaya yang sudah dikeluarkan untuk memiliki unit apartemen.

Kendala Ekonomi dan Aksesibilitas

Harga apartemen atau unit rumah susun yang ditawarkan oleh pengembang swasta masih jauh dari kemampuan beli masyarakat Indonesia, khususnya generasi produktif. Berdasarkan data IDN Research Institute (2024) yang dilansir oleh Perkim, rata-rata pendapatan gen Z di Indonesia masih di bawah Rp2,5 juta per bulan. Dengan pendapatan tersebut, jelas generasi muda sulit mendapatkan akses ke hunian vertikal, khususnya non-subsidi.

Memang pemerintah menawarkan program kepemilikan hunian vertikal bersubsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Namun, tak sedikit yang menilai biaya sewa atau cicilan kreditnya terlalu berat. Pada akhirnya, rumah tapak masih dianggap sebagai pilihan yang rasional meskipun lokasinya jauh dari pusat kota.

Hunian Vertikal Bisa Jadi Solusi Keterbatasan Lahan

Hunian vertikal
Sumber : Envato

Meski dianggap terlalu mahal dan sertifikat kepemilikannya tidak sekuat hunian tapak, hunian vertikal sebenarnya adalah solusi terbaik untuk masalah keterbatasan lahan. Kepala Bidang Permukiman Dinas Perumahan DKI Jakarta, Retno Sulistyaningrum, melalui Antaranews, menegaskan bahwa rumah susun merupakan jawaban atas masalah keterbatasan lahan di kota besar, seperti Jakarta.

Luas Jakarta sendiri hanya 664 kilometer persegi dan sekitar 40% digunakan untuk kawasan hunian. Dengan jumlah penduduk mencapai 10,6 juta jiwa, diperkirakan kebutuhan rumah mencapai 288 ribu.

Dengan menerapkan konsep hunian vertikal, maka bisa mendorong penggunaan lahan secara lebih efisien sekaligus mengurangi kawasan kumuh. Apalagi jika hunian vertikal dikembangkan dengan konsep Transit Oriented Development (TOD), maka hunian bisa terhubung langsung dengan transportasi publik. Dengan kata lain, masyarakat perkotaan akan sangat terbantu mengingat mereka membutuhkan akses cepat dan murah ke tempat kerja, sekolah, maupun tempat-tempat lainnya.

Bukan hanya itu saja, hunian vertikal juga mendukung keberlanjutan lingkungan. Dengan memusatkan populasi di gedung-gedung tinggi, maka ruang terbuka hijau bisa lebih dilindungi. Pemerintah daerah juga bisa lebih leluasa dalam mengatur infrastruktur dasar lainnya, mulai dari air, listrik, hingga pengelolaan sampah.

Namun, agar konsep hunian vertikal benar-benar diminati oleh masyarakat, maka harus ada strategi khusus dari pemerintah dan pengembang. Harga harus lebih terjangkau, fasilitas harus mendukung, dan ada kepastian hukum. Jika semua ini terpenuhi, masyarakat mungkin akan mulai melirik hunian vertikal sebagai pilihan utama.

Jadi, alasan mengapa hunian vertikal kurang laku di Indonesia sangatlah kompleks. Mulai dari faktor budaya, persepsi tentang kepemilikan, hingga keterbatasan akses ekonomi, semuanya berkontribusi dalam membentuk preferensi masyarakat terhadap hunian vertikal.

Namun, di sisi lain, hunian vertikal adalah solusi untuk mengatasi keterbatasan lahan. Kuncinya adalah bagaimana konsep dari hunian vertikal ini diterapkan agar terjangkau, nyaman, dan sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia.

Leave a Reply