Siapa sih yang nggak familier dengan budaya komentar pedas di kolom media sosial Indonesia? Mulai dari gosip selebritas, influencer, urusan politik, hingga pertandingan olahraga, netizen Indonesia tak pernah absen ikut campur. Saking aktifnya mereka, muncul label “netizen Indonesia paling julid”.
Namun, benarkah orang Indonesia yang terkenal ramah di dunia nyata itu justru paling tidak sopan di dunia maya? Ternyata, label ini bukan sekadar omongan belaka. Menurut survei Microsoft “Digital Civility Index (DCI) 2021”, Indonesia berada di posisi paling bawah se-Asia Tenggara soal kesopanan digital.
Mencengangkan bukan?
Menurut laporan Microsoft yang dikutip oleh Kompas, indeks kesopanan digital masyarakat Indonesia berada di peringkat 29 dari 32 negara yang disurvei. Ini artinya, Indonesia hanya lebih baik dari tiga negara lainnya secara global dan jadi yang terburuk se-ASEAN. Skor ini dihitung menggunakan berbagai indikator, seperti penyebaran hoaks, penipuan digital, ujaran kebencian, dan diskriminasi di dunia maya.
Dari sebanyak 503 responden survei, sebanyak 47% menyebut penipuan dan hoaks sebagai faktor utama penyebab ketidaksopanan di ranah digital. Kemudian disusul oleh ujaran kebencian (27%) dan diskriminasi (13%).
Data dari Microsoft ini menunjukkan bahwa ternyata internet bukan lagi tempat berbagi informasi. Justru dunia maya juga menjadi lahan subur untuk berbagai konflik antar netizen, cibiran, bahkan persekusi digital.
Namun menariknya, dalam laporan tersebut disebutkan bahwa perilaku tidak sopan di ranah media sosial justru didominasi oleh kelompok usia dewasa, bukan remaja. Padahal, mayoritas pengguna media sosial di Indonesia adalah anak muda berusia 18-34 tahun.
Lantas, apa yang membuat orang Indonesia yang terkenal santun dan ramah di dunia nyata justru berubah begitu mereka bermain media sosial?
Kita semua tahu bahwa orang Indonesia menjunjung tinggi budaya ketimuran, yakni budaya sopan santun. Sejak kecil, kita diajarkan untuk tidak menyela orang yang sedang berbicara, menjaga nada bicara, bahkan berpura-pura baik. Namun kini, hal seperti itu langsung luntur begitu masuk ke dunia maya.
Menurut pakar media sosial Ismail Fahmi melalui Kompas, fenomena ini terjadi karena dunia maya memungkinkan orang untuk bersembunyi di balik anonimitas sehingga merasa bebas. Saat berinteraksi di media sosial, umumnya kita hanya berhadapan dengan layar, bukan dengan ekspresi manusia. Akibatnya, empati sering kali mudah memudar.
Praktisi psikologi, Hening Widyastuti melalui Kompas, juga menyampaikan bahwa media sosial kini menjadi wadah pelampiasan emosi yang tak bisa diekspresikan di dunia nyata. Melalui media sosial, banyak orang merasa lebih aman menyampaikan hal-hal menyakitkan yang mereka alami di dunia nyata karena tidak harus melihat langsung reaksi orang yang dibicarakan.
Jadi, meskipun Indonesia adalah negara yang dikenal hangat, banyak masyarakatnya yang langsung berubah kepribadian begitu berselancar di internet. Komentar julid, serbuan netizen terhadap akun tertentu, bahkan aksi cyberbullying sudah menjadi pemandangan sehari-hari di kanal media sosial Indonesia.
Contoh konkretnya bisa langsung kamu lihat dari bagaimana netizen menyerbu akun Instagram Microsoft setelah merilis laporan DCI 2021. Bahkan Microsoft sampai menutup kolom komentarnya karena terlalu banyak cibiran dari netizen Indonesia sendiri.
Fakta bahwa netizen Indonesia paling julid se-ASEAN memang seharusnya diubah. Namun untuk mengubahnya, perlu kesadaran diri bahwa komentar di dunia maya tetap memiliki dampak di dunia nyata.
Meskipun tidak saling tatap muka, tetap ada manusia di balik akun yang kamu komentari. Mereka bisa saja sakit hati, tersinggung, sedih, atau bahkan trauma karena komentar yang kamu lontarkan. Lantas, bagaimana caranya mengubah budaya digital masyarakat Indonesia agar lebih sehat?
Menurut Direktur Buku Langgar, Abdul Rohman, dalam webinar yang diselenggarakan oleh KOMINFO (sekarang KOMDIGI) pada September 2021 melalui WartaJogja, literasi digital bukan sekadar mampu mengoperasikan gadget. Literasi digital juga menyangkut soal etika, empati, dan akal sehat dalam menggunakan teknologi. Ini termasuk mampu menyaring informasi, tidak menyebar hoaks, dan menyampaikan opini dengan sopan.
Dengan literasi digital, maka suatu masyarakat bisa menjadi lebih bijak, baik saat menyampaikan informasi ataupun berkomentar di media sosial. Misal kamu merasa emosi saat membaca suatu postingan, cobalah untuk diam terlebih dahulu, verifikasi faktanya, dan pikirkan apakah postingan tersebut membutuhkan reaksi kamu. Kalau memang harus dikomentari, apa untungnya buat kamu?
Beberapa bulan terakhir, jagat sosial di Indonesia ramai dengan fanatisme politik yang membuat netizen saling lempar opini. Bahkan perbedaan pilihan ini menciptakan konflik antarmasyarakat. Padahal tanpa disadari, sebagian opini tersebut memang sengaja diunggah oleh buzzer yang dibayar oleh oknum untuk membentuk opini publik.
Sementara itu menurut Ismail Fahmi, buzzer memang bukan penyebab utama, tetapi turut menyumbang suasana digital yang makin panas. Oleh sebab itu, kamu harus kritis dan jangan mudah terpancing maupun asal ikut komentar kalau belum tahu duduk persoalannya.
Kamu mungkin pernah mendengar kalimat “think before you post”. Ini bukan sekadar kalimat, tetapi prinsip dasar dalam menjaga etika di ranah digital. Bayangkan kalau kamu yang jadi korban komentar julid dari akun-akun yang bahkan tidak kamu kenal di kehidupan nyata, bagaimana rasanya?
Jadi, cobalah untuk memosisikan dirimu sebagai orang lain sebelum mengirim komentar. Mungkin semua orang punya hak untuk bicara, tetapi kamu juga memiliki tanggung jawab moral terhadap isi dari apa yang kamu sampaikan, meskipun hanya di dunia maya.
Berita bahwa netizen Indonesia paling julid se-Asia Tenggara memang benar adanya. Namun bukan berarti kita harus membiarkan label itu terus melekat. Sebagai pengguna media sosial, kita semua memiliki tanggung jawab untuk mengubah keadaan tersebut. Semuanya bisa dimulai dengan sadar bahwa apa yang kamu sampaikan di kolom komentar orang lain bisa berdampak langsung pada orang di balik akun tersebut.
Ingatlah bahwa dunia maya adalah cerminan siapa kita sebenarnya. Untuk itu, mari tunjukkan bahwa masyarakat Indonesia tak hanya ramah di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya.