Perkembangan era digital memengaruhi berbagai aspek kehidupan, salah satunya aspek keuangan. Berkat perkembangan teknologi di bidang keuangan, kini masyarakat bisa mendapatkan akses mudah terhadap berbagai produk maupun layanan keuangan. Namun di balik kemudahan yang ditawarkan, muncul ancaman kejahatan finansial.
Generasi muda, seperti milenial dan gen Z, merupakan generasi yang mendominasi penggunaan produk maupun layanan teknologi finansial. Di sisi lain, mereka juga menjadi target empuk aktivitas kejahatan finansial berbasis teknologi.
Oleh sebab itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator di bidang keuangan terus berupaya mengedukasi generasi muda agar lebih mawas diri dan cerdas dalam mengelola keuangan sekaligus menghindari berbagai modus kejahatan finansial.
Kejahatan finansial dapat didefinisikan sebagai segala bentuk penipuan yang melibatkan penggunaan data-data pribadi maupun transaksi keuangan untuk kepentingan pelaku dengan merugikan korban.
Kejahatan finansial bisa terjadi di berbagai platform dan bahkan dapat terjadi pada siapa saja, khususnya pada mereka yang memiliki literasi digital dan keuangan yang rendah atau kurang memahami risiko keamanan finansial secara digital.
Melansir laman Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), berikut ini adalah beberapa contoh tindak kejahatan finansial yang harus diwaspadai:
Phishing adalah bentuk kejahatan finansial yang paling sering terjadi di era digital. Metode kejahatan ini melibatkan pencurian informasi pribadi dengan mengelabui target melalui pesan dengan tautan yang dikirimkan lewat email, pesan teks, atau bahkan lewat panggilan telepon. Biasanya pelaku juga mengatasnamakan lembaga keuangan resmi.
Apabila korban sudah terpancing, pelaku akan meminta korban untuk memasukkan data-data pribadi seperti nomor rekening bank, kata sandi, bahkan meminta untuk mentransfer sejumlah uang.
Carding merupakan kejahatan finansial yang melibatkan penggunaan informasi kartu kredit milik orang lain secara ilegal untuk melakukan transaksi. Biasanya, pelaku akan mencuri data-data dalam kartu kredit melalui serangan malware yang dilancarkan pada perangkat milik korban atau pada situs belanja online dengan tingkat keamanan yang rendah.
Impersonation adalah tindakan penyamaran yang dilakukan pelaku untuk menyamar sebagai karyawan lembaga keuangan dan dengan sengaja berinteraksi dengan korban guna mendapatkan informasi rahasia. Informasi rahasia yang dimaksud biasanya berhubungan dengan data pribadi yang digunakan korban untuk membuka rekening.
Taktik ini biasanya dilakukan melalui panggilan telepon atau email palsu yang mengarahkan korban ke situs web milik pelaku.
Metode kejahatan finansial yang satu ini mirip seperti phising tetapi dilancarkan melalui panggilan telepon. Pelaku akan menelpon korban dan meminta korban untuk menyerahkan informasi pribadi mereka dengan berpura-pura menjadi petugas lembaga keuangan tertentu agar akun mereka bisa diaktifkan kembali atau karena suatu alasan tertentu.
Umumnya, pelaku yang melancarkan tindak kejahatan ini sudah mengantongi data pribadi korban, seperti nama dan tanggal lahir guna membuat percakapan menjadi lebih meyakinkan.
Spoofing adalah metode kejahatan finansial yang dilancarkan melalui perangkat lunak khusus untuk memanipulasi identitas pelaku agar terlihat seperti lembaga resmi. Biasanya, email, nomor telepon atau bahkan nama yang muncul di layar korban disamarkan oleh pelaku untuk memberikan kesan aman dan tepercaya.
Jenis-jenis modus kejahatan finansial di atas perlu dipahami agar masyarakat, khususnya generasi muda, yang aktif menggunakan layanan keuangan digital bisa melindungi diri dan melakukan tindakan pencegahan yang tepat.
Salah satu langkah sederhana yang bisa dilakukan adalah dengan selalu memeriksa keabsahan sumber informasi dan tidak gampang terpancing untuk memberikan data pribadi kepada pihak-pihak yang mencurigakan.
Generasi milenial dan Z merupakan generasi muda yang aktif menggunakan teknologi finansial. Namun dari kedua generasi tersebut, generasi Z lah yang paling adaptif terhadap teknologi. Di Indonesia, generasi yang lahir antara tahun 1997-2012 tersebut mendominasi demografi dengan persentase mencapai 28% dari seluruh populasi.
Gen Z, sebutan umum bagi generasi Z, aktif menggunakan berbagai layanan keuangan digital, seperti aplikasi perbankan, e-wallet, e-commerce, dan platform keuangan digital lainnya. Sayangnya, popularitas layanan ini justru membuka celah bagi orang-orang tidak bertanggung jawab untuk memanfaatkan celah keamanan.
Gaya hidup generasi muda yang gampang terpengaruh oleh fenomena terkini seperti YOLO (You Only Live Once) dan FOMO (Fear of Missing Out) juga dapat meningkatkan risiko mereka terjebak dalam keputusan finansial yang tidak tepat.
Terlalu terpengaruh dengan media sosial atau bahkan mendapat tekanan dari rekan sebaya juga membuat banyak generasi muda rentan membuat pengeluaran tanpa pertimbangan yang matang atau biasa dikenal dengan sebutan doom spending.
Kebiasaan inilah yang menjadi contoh dari instant gratification atau kecenderungan untuk mencari kepuasan dalam waktu cepat tanpa memikirkan dampaknya di masa depan. Selain itu, fenomena FOPO (Fear of Other People’s Opinions) atau takut dengan opini orang lain kerap membuat gen Z untuk mengikuti tren konsumtif yang sebenarnya tidak dibutuhkan.
Tekanan semacam ini menyebabkan mereka yang secara finansial masih kekurangan harus mengambil pinjaman atau bahkan melakukan investasi tanpa mempelajari terlebih dahulu produk-produk keuangan yang digunakan.
Akibatnya, risiko terkena penipuan finansial meningkat drastis. Tak sedikit gen Z yang terjerat dengan pinjaman online atau bahkan menjadi korban investasi bodong yang menjanjikan keuntungan besar dalam waktu singkat.
Data menunjukkan kelompok usia 19-34 tahun menjadi kelompok penerima kredit pinjol terbanyak, yakni mencapai 54,06% atau setara dengan Rp27,1 triliun.
OJK selaku regulator keuangan di Indonesia menyadari bahwa literasi keuangan adalah salah satu kunci utama untuk melawan kejahatan finansial. Generasi muda yang notabenenya paling melek teknologi perlu memahami bagaimana cara kerja produk keuangan, bagaimana cara mengelola uang dengan bijak, dan mengenali modus kejahatan finansial yang marah terjadi.
Salah satu upaya riil yang diterapkan OJK adalah menyelenggarakan program Literasi Keuangan Indonesia Terdepan (LIKE IT). Program ini adalah bentuk dari upaya kolaboratif antara OJK, Kementerian Keuangan RI, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) guna meningkatkan kesadaran masyarakat, khususnya para muda-mudi, tentang betapa pentingnya literasi keuangan.
Dalam program ini, para peserta diajak untuk belajar bagaimana caranya mengidentifikasi skema kejahatan finansial, mengelola keuangan pribadi, dan menggunakan produk serta layanan keuangan secara bijak.
Selain itu, OJK juga menekankan pentingnya membangun perilaku delayed gratification atau menunda mencari kepuasan jangka pendek demi memenuhi kepuasan dan keuntungan jangka panjang. Perilaku ini sangat penting untuk diterapkan di tengah maraknya gaya hidup konsumtif.
Jadi, untuk mencegah kejahatan finansial yang kerap menyasar generasi muda, diperlukan kombinasi antara edukasi, kesadaran, dan kebiasaan keuangan yang baik. Upaya OJK selaku salah satu regulator sektor keuangan tanah air dalam meningkatkan literasi keuangan masyarakat diharapkan bisa menjadi langkah yang efektif untuk melindungi generasi muda dari ancaman berbagai bentuk kejahatan finansial.
Bagi generasi muda sendiri, mereka diharapkan bisa menjadi kelompok usia yang senantiasa waspada, berpikir kritis, dan mampu mengambil keputusan finansial secara bijak.