Menyoal Patriarki di Indonesia, Budaya yang Tak Kunjung Hilang

Patriarki di Indonesia adalah budaya yang sudah mengakar kuat sejak zaman kerajaan. Lantas, apakah sistem seperti ini bisa dihilangkan?

Pernahkah kamu membayangkan hidup dalam dunia di mana seseorang dibatasi hanya karena jenis kelaminnya? Sayangnya, hal seperti ini ada di dunia nyata dan banyak dialami oleh perempuan di Indonesia. 

Patriarki, sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan, masih kuat mengakar di berbagai aspek kehidupan, mulai dari rumah tangga hingga kebijakan negara.

Meskipun dunia makin modern dan makin banyak gerakan mendukung kesetaraan gender, nyatanya budaya patriarki masih bertahan di Indonesia. Mengapa demikian? Apa yang membuat budaya yang lebih condong terhadap peran laki-laki sangat sulit dihilangkan?

Patriarki di Indonesia

Sejarah Patriarki di Indonesia

Patriarki di Indonesia bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja. Sistem ini telah mengakar dalam sejarah panjang dan budaya Indonesia selama berabad-abad. Secara harfiah, istilah patriarki berarti “rule of the father” atau kekuasaan ayah. 

Dalam konteks yang lebih luas, hal ini mengacu pada dominasi laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari kepemimpinan keluarga hingga dalam forum politik dan ekonomi.

Sejak Indonesia masih berupa kerajaan, peran laki-laki lebih diutamakan dalam struktur sosial. Sebagai contoh, dalam sistem feodalisme kerajaan, laki-laki kerap kali menjadi raja, panglima perang, dan pemimpin spiritual, sementara itu perempuan lebih condong ke ranah domestik. 

Perempuan yang memiliki kekuasaan seperti Tribhuwana Tunggadewi atau Ratu Shima, tentu adalah pengecualian dan bukan aturan.

Sejarah patriarki di Indonesia makin diperkuat oleh kolonialisme Belanda yang bekerja sama dengan para penguasa pribumi, seperti bupati dan pihak keraton. Kebijakan pendidikan yang hanya dibolehkan untuk para laki-laki mempersempit peluang kaum perempuan untuk berkembang. 

Bahkan, setelah Indonesia merdeka pun, sistem sosial yang menempatkan pihak perempuan hanya dalam peran domestik masih tetap kuat.

Hingga kini, sisa-sisa patriarki yang sangat kuat masih terlihat dalam berbagai aspek kehidupan. Mulai dari kebijakan hukum yang kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan hingga stereotip berbasis gender yang langgeng dalam budaya populer dan media.

Beratnya Hidup di Tengah Budaya Patriarki

Tentu patriarki lebih dari sekadar konsep sosial. Ia juga berdampak nyata pada kehidupan sehari-hari para perempuan di Indonesia, baik dalam bentuk kekerasan fisik dan verbal, diskriminasi, hingga keterbatasan peluang ekonomi serta pendidikan.

1. Kekerasan berbasis gender

Data dari Komnas Perempuan mencatat ada lebih dari 338 ribu kasus kekerasan berbasis gender yang terjadi pada tahun 2021. Jumlah ini meningkat hampir 50% dari tahun sebelumnya. Kasus-kasus ini mencakup berbagai bentuk kekerasan, mulai dari kekerasan domestik, pelecehan seksual, hingga eksploitasi ekonomi.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi, banyak kasus kekerasan tidak dilaporkan karena korban takut mendapatkan stigma sosial atau takut tidak mendapatkan perlindungan hukum.

2. Diskriminasi di lingkungan kerja

Perempuan di Indonesia saat ini memang lebih sejahtera dibanding perempuan zaman dahulu. Namun perempuan saat ini masih menghadapi kesenjangan upah dan keterbatasan karier. Data BPS dari tahun 2021-2023 menunjukkan bahwa rata-rata upah perempuan masih lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.

Di samping itu, perempuan juga rentan mengalami pelecehan secara fisik maupun verbal di lingkungan kantor oleh kolega laki-laki. Bahkan banyak dari mereka juga kerap mendapatkan pertanyaan diskriminatif saat wawancara kerja, seperti status pernikahan atau rencana memiliki anak.

3. Keterbatasan dalam bidang pendidikan dan politik

Meskipun angka partisipasi pendidikan perempuan di Indonesia terus mengalami peningkatan, masih banyak masyarakat yang menganggap perempuan tidak seharusnya berpendidikan terlalu tinggi. Sebab, orang-orang yang masih menganut budaya patriarki takut terhadap perempuan yang memiliki kesadaran diri karena dianggap cenderung sulit untuk dikontrol. 

Di samping itu, representasi perempuan dalam politik juga terbilang masih jauh dari ideal. Dari 575 anggota DPR RI tahun 2019-2024, hanya sekitar 20,5% yang merupakan perempuan.

4. Objektifikasi perempuan di media

Budaya patriarki juga bisa dilihat dari bagaimana perempuan digambarkan di media. Konsep male gaze, di mana perempuan kerap dianggap sebagai objek seksual dalam film, iklan, bahkan konten-konten yang berseliweran di media sosial. 

Hal ini makin memperkuat stereotip bahwa nilai seorang perempuan sangat bergantung pada penampilannya, bukan pada prestasi atau kecerdasannya.

Bisakah Patriarki di Indonesia Dihilangkan?

Ada beberapa langkah yang bisa diterapkan untuk melemahkan sistem patriarki yang sudah mengakar di Indonesia. Salah satunya melalui reformasi kebijakan. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada 2022 merupakan langkah progresif, tetapi implementasinya masih harus terus diawasi agar efektif.

Di samping itu, perlu ada kebijakan yang lebih progresif guna mendorong kesetaraan di dunia kerja, seperti cuti ayah yang lebih panjang. Tujuannya agar beban pengasuhan anak tidak hanya diserahkan pada pihak perempuan seperti kebijakan yang diterapkan oleh negara-negara maju.

Selain melalui kebijakan, sistem patriarki harus dilemahkan mulai sejak dini. Caranya adalah dengan memberikan pendidikan gender di keluarga dan sekolah. Tujuannya agar anak-anak memahami bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama. Di samping itu, keluarga juga memegang peran penting dalam menanamkan pentingnya nilai-nilai kesetaraan di rumah.

Pelemahan sistem patriarki juga dapat dilakukan dengan meningkatkan representasi perempuan dalam kepemimpinan. Perempuan harus lebih banyak terlibat dalam pengambilan keputusan, baik di ranah sosial, politik, maupun ekonomi. Dengan makin banyaknya pemimpin, maka negara bisa membuat kebijakan yang lebih inklusif dan berpihak kepada kesetaraan gender.

Memang, patriarki di Indonesia tidak bisa hilang dalam semalam. Namun, perubahan yang baik bukanlah sesuatu yang mustahil. Dengan terus meningkatkan kesadaran, kebijakan yang lebih adil, dan mendorong partisipasi aktif dari masyarakat, maka bukan hal yang mustahil bagi kita semua untuk menciptakan lingkungan yang lebih setara bagi semua orang.

Leave a Reply