Tiada hari tanpa notifikasi “Diskon 50%! Gratis ongkir! Flash Sale hanya hari ini!” dari aplikasi belanja online. Fenomena ini ternyata bukan hanya strategi marketing biasa. Justru, ini sudah tergolong fenomena yang disebut dengan peran diskon e-commerce.
Di tengah ketatnya kompetisi antara berbagai marketplace di Indonesia, seperti Shopee, Tokopedia, dan TikTok Shop, diskon besar-besaran dan gratis ongkir seolah menjadi salah satu senjata utama untuk menggaet calon konsumen. Namun, di balik itu semua, muncul pertanyaan besar, kira-kira siapa yang paling diuntungkan dari perang harga ini?
Sebagai konsumen, tentu kamu merasa jadi pihak yang paling mendapatkan banyak keuntungan dari perang harga antar e-commerce. Pasalnya, kamu bisa mendapatkan harga produk yang jauh lebih murah, pengiriman yang sering kali gratis, dan bahkan kamu bisa belanja menggunakan sistem COD. Namun, sayangnya tak sesederhana itu.
Faktanya, semua platform e-commerce yang eksis di negara ini memberikan subsidi besar-besaran dalam bentuk diskon, cashback, maupun gratis ongkos kirim, agar kamu mau belanja lebih banyak. Mereka melakukan strategi “bakar uang” guna menarik calon pembeli, membangun loyalitas, dan menggenjot volume transaksi.
Hanya saja, di balik segala keuntungan yang didapatkan oleh konsumen, para penjual (terutama UMKM) terkadang harus merugi atau ambil untung sedikit. Pasalnya, mereka harus ikut menurunkan harga agar bisa tetap bersaing di pencarian dan algoritma platform.
Misalnya saja di TikTok Shop, pastinya kamu sudah tahu bagaimana produk-produk di e-commerce tersebut sering muncul lewat konten video pendek atau ditawarkan melalui live commerce. Nah, model ini dikenal dengan sebutan shoppertainment yang membuat pengalaman belanja cenderung lebih sponan. Namun, lagi-lagi para penjual yang harus berkorban menyesuaikan harga agar produk-produknya tetap tampil di feed-mu.
Di satu sisi, konsumen memang menjadi pihak yang paling diuntungkan dari fenomena perang diskon e-commerce. Namun, di sisi lain, ada dampak ekonomi yang jelas tak bisa dipandang sebelah mata.
Contohnya yang terjadi di China. Menurut laporan CNBC dan The New York Times, praktik e-commerce ekstrem seperti yang diterapkan oleh Pinduoduo memaksa para penjual harus terus-menerus menurunkan harga. Akibatnya, margin keuntungan yang didapatkan penjual menyusut dan mereka makin tertekan. Bahkan fenomena ini membuat kondisi deflasi ekonomi di negara tersebut makin memburuk.
Skenario ini juga terjadi di Indonesia. Sebab, ketika perusahaan produsen terjun ke e-commerce dan memberikan diskon besar-besaran, otomatis pedagang kecil terpinggirkan. Bahkan penyedia layanan logistik juga ikut terdampak. Apalagi jika ongkir ditekan terlalu murah tanpa adanya regulasi subsidi yang jelas, maka yang terkena dampaknya adalah para kurir.
Melihat fenomena perang diskon e-commerce, tentu pemerintah Indonesia tak tinggal diam. Melalui Peraturan Menteri Komdigi No. 8 Tahun 2025, pemerintah mengatur agar perusahaan logistik tidak memberikan diskon ongkir di bawah ketentuan biaya operasional mereka. Tujuannya adalah untuk menjaga keberlangsungan industri logistik dan memberikan perlindungan bagi para kurir. Jadi, inti dari kebijakan Komdigi ini bukan hanya soal tarif, melainkan soal keadilan ekonomi.
Namun, sebagai konsumen, kamu tak perlu khawatir. Kamu masih tetap bisa menikmati promo gratis ongkir dari platform Shopee, Tokopedia, TikTok Shop, atau marketplace lain. Direktur Jenderal Ekosistem Digital Komdigi, Edwin Hidayat Abdullah, melalui MetroTVnews menyampaikan bahwa regulasi Komdigi tidak mengatur soal promosi gratis ongkir yang diberikan oleh e-commerce, melainkan diskon ongkir yang diberikan langsung kepada kurir melalui aplikasi mereka dan ini dibatasi maksimal tiga hari dalam satu bulan.
Kebijakan ini juga dirancang untuk menciptakan persaingan bisnis yang seimbang dan perlindungan tenaga kerja. Pasalnya, saat ini kurir adalah bagian dari pahlawan digital dan mereka membutuhkan penghasilan yang sesuai dengan beban kerja mereka.
Jawabannya tidak seglambang itu, bukan sekadar konsumen atau penjual saja. Pasalnya, perang diskon e-commerce didominasi oleh pemain besar seperti Shopee, Tokopedia, dan TikTok Shop. Mereka memiliki dana fantastis, algoritma canggih, serta ekosistem pendukung seperti pembayaran dan logistik.
Namun, bukan berarti para pemain e-commerce tersebut tidak memiliki tekanan. Misalnya saja Shopee, meskipun mereka mendominasi pasar Indonesia, mereka tetap harus mencari strategi lain selain bakar uang untuk menghasilkan keuntungan. Pasalnya, mereka tidak bisa terus-menerus menerapkan sistem subsidi besar.
Lain lagi dengan Tokopedia, platform satu ini mengandalkan integrasi layanan dengan GoTo. Kendati demikian, mereka masih memerlukan inovasi lebih lanjut agar tidak kalah saing dengan platform lainnya, seperti Shopee.
Di sisi lain, para penjual kecil harus lebih cerdas dalam membaca situasi pasar. Mereka memang bisa mendapatkan untung besar dari tingginya trafik penjualan. Namun mereka juga harus siap menghadapi tekanan harga, biaya admin yang makin meroket, biaya iklan, dan lain sebagainya. Itulah sebabnya, banyak pedagang kecil yang akhirnya keluar dari platform karena margin keuntungan terlalu kecil.
Sementara itu bagi para konsumen, memang saat ini adalah pihak yang paling diuntungkan. Namun perlu dicatat, jika perang diskon ini membuat harga terlalu rendah, bahkan di bawah harga pasar, maka bisa berdampak buruk terhadap kualitas layanan.
Jadi, perang diskon e-commerce memang sangat memanjakan para konsumen. Di balik fenomena ini, tentu ada banyak pihak yang harus menjadi korban, seperti penjual kecil dan para pekerja logistik. Itulah sebabnya pemerintah melalui Komdigi mengeluarkan regulasi terkait pemberian diskon, lebih tepatnya diskon ongkos kirim.
Pada akhirnya, yang paling diuntungkan dari fenomena perang harga ini adalah platform yang mampu terus berinovasi, penjual yang bisa memahami situasi pasar, dan konsumen yang cerdas dalam memilih.