Properti murah di negara-negara Eropa kerap menjadi topik yang menarik banyak perhatian, khususnya bagi mereka yang ingin memiliki rumah di luar negeri. Penawaran properti dengan harga yang cenderung sangat rendah, bahkan ada yang hanya mulai dari satu euro, jelas terdengar sangat menggiurkan. Namun, di balik harga murah tersebut, ada berbagai faktor yang memengaruhi harga pasar properti di negara-negara Eropa seperti Italia, Jerman, dan Swedia.
Italia menjadi salah satu negara yang paling terkenal dengan program penjualan rumah murah, bahkan ada yang mulai dari satu euro. Program ini dimulai sejak tahun 2008 dengan tujuan untuk merevitalisasi desa-desa yang selama ini sudah lama ditinggalkan.
Kurang lebih 50 komunitas di Italia, khususnya yang berada di wilayah seperti Sisilia dan Tuscany, menawarkan rumah dengan harga simbolis satu euro. Namun, harga murah tentunya tidak tanpa syarat. Pembeli diwajibkan untuk memperbaiki rumah yang dibeli dalam jangka waktu tertentu, biasanya antara satu hingga lima tahun, dengan biaya yang bisa dibilang cukup tinggi.
Salah satu contoh inisiatif ini terjadi di Desa Cammarata, Sisilia. Desa kecil ini mengalami penurunan jumlah penduduk muda karena mereka memilih untuk pindah ke kota besar sehingga meninggalkan banyak rumah kosong.
Pemerintah setempat berharap program ini bisa menghidupkan kembali desa-desa yang hampir sepi dan menghidupkan suasana baru dengan penduduk baru yang berkomitmen untuk menetap di sana. Upaya ini menarik perhatian banyak calon pembeli, khususnya yang berasal dari luar negeri. Sayangnya, mereka lebih tertarik untuk membeli rumah tersebut sebagai bentuk investasi properti atau vila untuk liburan. Padahal, pemerintah setempat mensyaratkan pembeli untuk tinggal di properti tersebut dan tidak menjadikannya sebagai aset investasi fisik semata.
Selain daerah Cammarata, masih ada beberapa wilayah lain di Italia yang menawarkan program serupa, di antaranya daerah Sambuca dan Mussomeli. Meskipun program rumah satu euro ini terdengar sangat menarik, pembeli tetap harus melakukan pertimbangan dengan matang mengingat biaya renovasi rumah bisa mencapai puluhan ribu euro. Hal ini lantaran kondisi rumah yang dijual sering kali sangat memprihatinkan karena sudah bertahun-tahun tidak dihuni.
Tidak hanya Italia, Jerman juga memiliki pasar properti yang cenderung murah, khususnya di daerah pedesaan. Setelah reunifikasi Jerman yang terjadi pada tahun 1990, banyak penduduk berbondong-bondong pindah dari daerah pedesaan ke kota-kota besar seperti Frankfurt dan Berlin. Akibatnya, populasi di sejumlah wilayah pedesaan di Jermain bagian timur mengalami penurunan drastis.
Penurunan jumlah penduduk yang terjadi di pedesaan Jerman menyebabkan banyak properti kosong atau terbengkalai. Untuk mengatasi maalah ini, pemerintah lokal dan sejumlah portal real estate di Jerman seperti Immoscout menawarkan rumah dengan harga yang sangat terjangkau meskipun tak semurah di Italia yang seharga satu euro.
Salah satu contohnya adalah rumah di daerah Wurzen, Sachsen yang dilelang mulai dari 6.200 euro atau setara dengan Rp109 juta. Di Bobritzch dan di Sachsen, harga rumah ditawarkan mulai dari 9.200 euro atau setara dengan Rp162 juta. Kendati harga tersebut tergolong murah untuk pasar properti Jerman, kondisi rumah yang ditawarkan sering kali masih memerlukan renovasi besar, sama halnya yang terjadi di Italia.
Penyebab dari murahnya harga rumah di daerah pinggiran Jermn adalah eksodus penduduk usia muda yang pindah ke kota besar untuk mencari peluang pekerjaan yang lebih baik. Namun, sejak pandemi COVID-19, tren ini perlahan-lahan mulai berubah.
Banyak keluarga muda yang mulai kembali ke kawasan pedesaan karena adanya kesempatan untuk bekerja dari rumah dan didukung oleh infrastruktur digital yang makin baik. Urbanisasi yang mengalami perlambatan ini ibarat menjadi angin segar bagi wilayah pedesaan meskipun tantangan untuk mengembalikan infrastruktur lokal masih cukup besar.
Swedia menjadi salah satu negara di Eropa yang menawarkan properti murah di beberapa daerah pedesaan. Kota Gotene yang berada di sebelah barat daya Swedia merupakan salah satu contohnya. Dengan populasi hanya mencapai sekitar 5.000 orang, kota ini menawarkan properti dengan harga yang cukup terjangkau, bahkan hanya beberapa krona untuk setiap meter persegi.
Sebagai contoh, sebuah lahan dengan luas kurang lebih 150 meter persegi dijual dengan harga kurang dari 15 euro atau sekitar Rp265 ribu. Namun sama seperti di Italia, ada syarat khusus yang harus dipenuhi oleh calon pembeli. Mereka wajib untuk membangun rumah di atas lahan yang telah dibeli dalam jangka waktu dua tahun.
Program penjualan properti murah ini menjadi bagian dari upaya pemerintah setempat untuk menghentikan eksodus penduduk dari kawasan pedesaan ke kota-kota besar. Di Swedia, urbanisasi menjadi masalah yang cukup serius. Para generasi muda memilih untuk pindah ke kota-kota besar seperti Stockholm dan Gotheburg guna mencari pekerjaan.
Gotene, yang lokasinya dekat dengan Danau Vanern, awalnya mengalami penurunan jumlah peminat dari calon pembeli lokal kendati harga properti yang ditawarkan sangat rumah. Namun, setelah pemerintah setempat melakukan promosi besar-besaran melalui media sosial dan liputan media internasional, minat terhadap properti di kawasan ini mengalami peningkatan pesat, khususnya dari pembeli asing.
Perlu dipahami bahwa urbanisasi memang sudah menjadi tren global, khususnya di negara-negara maju. Menurut laporan yang diterbitkan oleh Komisi Eropa, tingkat urbanisasi di Eropa diprediksi dapat menyentuh angka 83,7% pada tahun 2050. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar penduduk Eropa akan memilih tinggal di kota-kota besar sehingga membuat kawasan pedesaan makin sepi.
Namun melalui program-program yang diluncurkan oleh pemerintah setempat, seperti penjualan properti murah, masih ada harapan bahwa desa-desa kecil di Swedia, Italia, Jerman, dan negara-negara Eropa lainnya bisa kembali hidup dan menarik penduduk baru.