Sulitnya Mengentaskan Kemiskinan Kultural di Indonesia

Kemiskinan kultural di Indonesia adalah masalah sosial yang sulit dientaskan. Simak di sini penyebab, dampak, dan cara mengentaskan masalah sosial tersebut.
Sumber : Envato

Kemiskinan adalah masalah sosial di semua negara, termasuk Indonesia. Meskipun pemerintah terus berupaya untuk menekan jumlah penduduk miskin, persoalan ini faktanya tak pernah benar-benar hilang.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, angka kemiskinan Indonesia berada di 9,03% atau sekitar 25,22 juta orang. Angka ini memang lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun 2023 yang mencapai 9,36%, tetapi penurunannya sangat tipis. 

Namun kemiskinan sendiri bukan hanya perkara ekonomi, melainkan juga berkaitan dengan faktor budaya dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat atau disebut juga dengan kemiskinan kultural. Kemiskinan karena budaya membuat sebagian masyarakat sulit untuk keluar dari jebakan pola pikir dan gaya hidup yang diwariskan lintas generasi sehingga mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan.

Apa Itu Kemiskinan Kultural?

Kemiskinan kultural
Sumber : Envato

Dalam jurnal Konsep Kemiskinan Struktural, konsep kemiskinan karena kultural pertama kali diperkenalkan oleh Oscar Lewis pada tahun 1960-an. Ia menekankan bahwa kemiskinan bukan hanya masalah keterbatasan akses terhadap sumber daya, tetapi juga hasil dari sebuah kebudayaan yang terbentuk dalam masyarakat miskin. Menurut Lewis, kemiskinan karena budaya bisa dilihat sebagai cara hidup yang diturunkan dalam keluarga dan terus bertahan dari satu generasi ke generasi lainnya.

Budaya kemiskinan ini umumnya ditandai oleh sikap pasrah pada nasib, apatis, serta ketidakberdayaan. Sebagai contoh, anak-anak yang tumbuh di perkampungan kumuh sejak kecil secara otomatis menyerap nilai-nilai yang membuat mereka cenderung pasrah terhadap keadaan. Jika tidak ada campur tangan dari pihak luar, maka mereka akan mengulangi pola hidup yang diturunkan dari orang tua mereka.

Kendati demikian, teori Lewis mendapatkan sejumlah kontra. Banyak akademisi berpendapat bahwa kemiskinan tak seharusnya sepenuhnya menyalahkan budaya. William Ryan, misalnya, menilai kemiskinan lebih banyak disebabkan oleh faktor struktural, seperti ketidaksetaraan akses dan kebijakan ekonomi yang tak adil.

Namun, penting pula untuk dipahami bahwa meskipun faktor budaya bukan satu-satunya penyebab kondisi kemiskinan, ia tetap berperan dalam membuat individu maupun masyarakat sulit lepas dari lingkaran kemiskinan.

Akar Penyebab Kemiskinan Kultural di Indonesia

Melansir artikel bertajuk Masyarakat dan Kemiskinan Kultural yang dipublikasikan melalui laman Amanat.id, ada beberapa penyebab utama mengapa kemiskinan kultural bisa muncul dan bertahan di Indonesia.

1. Kondisi ekonomi yang sulit

Pertama, kondisi ekonomi yang cenderung sulit membuat masyarakat cenderung mencari cara bertahan hidup dengan pola yang praktis atau instan. Sebagai contoh, sebagian masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan mengandalkan bantuan dari pihak lain atau bersikap pasrah pada keadaan. Pola ini berlangsung secara turun-temurun dan akhirnya menjadi kebiasaan yang dianggap wajar. Bahkan kebiasaan ini membuat masyarakat Indonesia cenderung ingin semuanya serba instan hingga berujung pada timbulnya mentalitas korup.

2. Kualitas pendidikan yang buruk

Kemiskinan kultural bisa disebabkan oleh kualitas pendidikan yang buruk. Memang, kualitas pendidikan di suatu negara ditentukan oleh pemerintah. Dengan kata lain, kemiskinan karena buruknya kualitas pendidikan adalah kemiskinan struktural. Namun di sisi lain, kualitas pendidikan yang buruk juga membuat pola pikir masyarakat sulit untuk berkembang sehingga sulit untuk memiliki pola pikir berkembang yang bisa membawanya keluar dari jerat kemiskinan.

3. Pemahaman agama yang keliru

Indonesia adalah negara yang religius. Namun harus diakui bahwa banyak masyarakat yang memiliki pemahaman agama yang keliru. Sebagian dari mereka menganggap bahwa kemiskinan adalah takdir Tuhan yang tak perlu diubah. Bahkan ada juga yang menganggap bahwa harta itu tidak dibawa mati sehingga cenderung nyaman hidup dalam kemiskinan. Padahal, semua aspek dalam hidup membutuhkan harta, bahkan untuk bisa berbagi dengan sesama pun tetap membutuhkan harta.

4. Perilaku konsumtif

Perilaku konsumtif dan kebiasaan berfoya-foya ternyata juga memperkuat kemiskinan kultural. Fakta di lapangan bahkan menunjukkan bahwa sejumlah masyarakat yang menerima bantuan sosial dari pemerintah justru menggunakan bantuan tersebut untuk berjudi, bukan untuk memenuhi kebutuhan pokok atau mungkin untuk tambahan modal usaha. 

Dampak Buruk yang Ditimbulkan

Kemiskinan kultural
Sumber : Envato

Kemiskinan kultural jelas membawa dampak buruk bagi individu, keluarga, dan masyarakat. Pada tingkat individu, mereka yang masih terjebak dalam pola ini sering kali merasa minder. Mereka cenderung lebih mudah menyerah, sulit menunda kesenangan atau kecanduan dengan instant gratification, dan kurang memiliki orientasi terhadap masa depan.

Di tingkat keluarga, kemiskinan karena budaya membuat peran perempuan sering lebih dominan karena ketidakmampuan laki-laki dalam menjalankan tanggung jawab nafkah secara penuh. Bahkan tak jarang dari mereka yang mengeksploitasi anak-anak sejak usia dini. Akibatnya, anak kehilangan masa kecil yang seharusnya diisi dengan belajar dan bermain.

Sementara itu, pada tingkat masyarakat, kemiskinan karena budaya membuat masyarakat miskin sulit untuk terhubung dengan lembaga-lembaga sosial yang ada. Mereka akan cenderung diperlakukan objek yang harus ditolong, bukan subjek yang bisa didorong untuk berkembang. Akibatnya, terjadi keterasingan sosial dan rendahnya partisipasi dari kelompok miskin dalam kegiatan masyarakat.

Dampak lain yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah meningkatnya potensi tindak pidana. Beberapa penelitian menunjukkan adanya kaitan antara masalah ekonomi dengan tindak pidana, seperti pencurian, penipuan, dan bahkan korupsi. Benar, orang yang terjebak dalam kemiskinan kultural biasanya memiliki mentalitas miskin dan mentalitas ini erat kaitannya dengan mental korup. Pasalnya, orang yang mengalami hal tersebut cenderung ogah melakukan hal sulit dan ingin semuanya serba instan.

Mengapa Sulit Dientaskan?

Mengentaskan kemiskinan kultural bukanlah pekerjaan mudah. Pasalnya, masalah ini tak hanya menyangkut soal kondisi ekonomi, tetapi juga menyangkut mentalitas dan nilai budaya. Sekali pola ini mengakar kuat, ia akan cenderung bertahan dari satu generasi ke generasi lainnya.

Selain itu, program-program pemerintah sering kali hanya fokus pada bantuan ekonomi secara tunai, seperti bantuan sosial. Bantuan ini memang bisa meringankan beban kelompok miskin, tetapi hanya bersifat sementara dan tidak benar-benar menyentuh akar persoalan. Bahkan dalam beberapa kasus, bantuan tunai ini justru menghilangkan kemampuan bertahan hidup seseorang dan cenderung hanya bisa mengandalkan uluran tangan.

Dalam hal ini, pendidikan harusnya menjadi pintu keluar utama untuk mengubah pola pikir masyarakat yang terjebak dalam kemiskinan struktural. Bukan sekadar pendidikan, tetapi harus yang berkualitas. Sayangnya, akses pendidikan yang berkualitas masih belum merata di negara ini. Kualitas pengajar dan kurikulum harus dibenahi demi menciptakan manusia yang lebih berkualitas.

Di sisi lain, masyarakat juga masih kerap salah dalam memaknai ajaran agama. Selama doktrin yang salah tetap diajarkan dan bahkan sengaja dirawat oleh segelintir masyarakat, maka masyarakat miskin cenderung makin pasif. Padahal, ajaran agama yang benar mendorong umatnya untuk produktif dan berusaha memperbaiki kehidupan.

Ini semua yang membuat kemiskinan struktural di negara ini sulit dibasmi. Levelnya sudah bukan di tingkat individu, tetapi sudah menjadi masalah struktural, budaya, dan bahkan tafsir keagamaan.

Jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan dengan mengubah sudut pandang mereka dalam mengentaskan kemiskinan, maka kemiskinan kultural akan menjadi penghambat besar dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045. Namun tentunya pemerintah tak bisa bekerja sendiri, para akademisi, tokoh agama, hingga masyarakat harus berkolaborasi untuk menciptakan perubahan nyata.

Leave a Reply