Bali, pulau yang dikenal sebagai surga wisata di Indonesia, menawarkan pesona budaya dan alam yang begitu memikat dunia. Namun, di balik gemerlapnya sektor pariwisata Pulau Dewata, ada realitas pahit yang harus dihadapi oleh warga lokal.
Masyarakat asli Bali kesulitan memiliki rumah di tanah kelahiran mereka sendiri. Fenomena ini tentunya menjadi sorotan mengingat harga properti yang terus melejit dan dipengaruhi oleh overtourism dan investasi asing.
Sebagai warga asli Bali, kamu tentunya menyadari bahwa harga properti di pulau ini terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Realinfo yang dikutip oleh Merdeka.com, harga properti di Bali mengalami kenaikan sekitar 7% per tahun dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Bahkan, di Kota Denpasar, kenaikan tahunan bisa mencapai 15,1% pada September 2024, jauh melampaui angka inflasi nasional yang hanya sekitar 3,5%.
Lantas, apa yang menyebabkan hal ini? Salah satu penyebabnya adalah tingginya minat investor, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Mereka ingin menanamkan modal di sektor properti karena Bali terkenal sebagai destinasi wisata kelas dunia yang menarik banyak perhatian. Itulah sebabnya permintaan akan produk-produk properti ikut meningkat pesat.
Bagi warga lokal seperti Gede, seorang pekerja di Denpasar yang diliput oleh Merdeka.com, kenaikan harga properti di Bali adalah mimpi buruk. Dengan pendapatan sekitar Rp17 juta per bulan, ia masih merasa kesulitan untuk mengejar harga rumah yang kini rata-rata bisa mencapai Rp1 miliar untuk ukuran 100 meter persegi. Meskipun mampu mengumpulkan uang muka, tetapi cicilannya masih di luar jangkauan kemampuan finansial Gede.
Mengingat harga properti yang terus melambung, kebanyakan warga lokal Bali memilih untuk membeli rumah menggunakan skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Berdasarkan survei Bank Indonesia (BI) Provinsi Bali, sekitar 65% warga lokal membeli rumah dengan KPR. Sementara itu, skema lainnya, seperti tunai keras dan pembayaran tunai bertahap hanya mencakup sekitar 2% dan 33% dari total transaksi.
Kamu mungkin bertanya, kenapa banyak yang lebih memilih KPR? Salah satu alasannya adalah karena keterbatasan dana tunai. Dengan skema KPR, maka warga bisa mencicil rumah secara bertahap meskipun mau tidak mau mereka harus menghadapi suku bunga yang cukup tinggi. Namun, bukan berarti skema pembelian properti satu ini tidak ada tantangannya. Cukup banyak warga yang justru mengeluhkan uang muka yang besar dan proses birokrasi yang rumit.
Di samping itu, kenaikan harga bahan bangunan juga turut menjadi salah satu faktor yang memperparah situasi ini. Menurut survei BI, sekitar 43% perusahaan pengembang menyebut kenaikan harga bahan bangunan sebagai salah satu penyebab utama mahalnya harga rumah. Akibatnya, banyak warga lokal yang harus berusaha lebih keras lagi guna memenuhi kebutuhan hunian.
Selain karena masalah harga bahan bangunan atau suku bunga yang tinggi, fenomena overtourism atau kelebihan wisatawan turut menjadi penyebab utama mahalnya harga properti di Bali.
Meskipun seluruh Bali belum masuk dalam kategori overtourism, menurut beberapa ahli seperti Yayat Supriyatna melalui Detik.com, kawasan wisata favorit seperti Kuta, Nusa Dua, dan Sanur sudah menunjukkan kelebihan kapasitas. Fenomena ini tak hanya membuat harga properti melambung naik, tetapi juga turut memengaruhi beberapa aspek pada sektor properti di Bali.
Salah satu dampak utama dari overtourism di Pulau Dewata adalah komersialisasi ruang terbuka hijau. Lahan-lahan pertanian yang sebelumnya menjadi ciri khas lanskap Bali kini banyak dialihfungsikan menjadi properti komersial, seperti hotel, vila, maupun tempat usaha.
Akibatnya, ruang-ruang hijau makin berkurang dan memengaruhi keindahan alam yang menjadi salah satu daya tarik utama pulau ini. Ketidakseimbangan antara pengembangan properti dan daya dukung lingkungan juga turut menyebabkan situasi makin memburuk.
Lonjakan wisatawan turut mendorong pertumbuhan properti pariwisata, seperti hotel dan vila. Permintaan tinggi ini turut memengaruhi tata ruang Bali karena banyak pembangunan yang tidak dikelola dengan ketat. Akibatnya, risiko kerusakan lingkungan makin besar dan bahkan lanskap khas Bali ikut terkikis.
Salah satu dampak utama dari overtourism di Bali adalah kenaikan harga properti. Bagi masyarakat lokal, tentunya situasi ini menciptakan tekanan ekonomi baru. Mereka kerap kali terpaksa harus menjual tanahnya kepada investor dengan harga tinggi. Meskipun dari satu sisi mereka mendapatkan keuntungan ekonomi, tetapi di sisi yang lain masyarakat lokal ini juga kehilangan kendali atas aset-aset properti, khususnya yang berada di lokasi strategis.
Pengembangan properti yang dilakukan secara masif dan tanpa perencanaan yang matang juga menimbulkan banyak masalah lingkungan, seperti limbah dan kerusakan sanitasi. Padahal, Bali terkenal dengan lanskap alamnya yang berupa sawah, pantai, dan area hijau lainnya. Apabila pembangunan terus dijalankan tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekologi, maka daya tarik Bali sebagai destinasi wisata berkelanjutan juga turut terancam.
Jadi, masalah warga lokal Bali kesulitan memiliki murah dipicu oleh overtourism dan minat investor yang tinggi. Selain itu, lingkungan asli Bali juga turut terkena dampaknya apabila pembangunan properti tidak diatur lebih ketat lagi.
Untuk itu, pemerintah setempat harus mengambil langkah konkret, seperti mengeluarkan regulasi yang lebih ketat terhadap investasi asing, monotarium pembangunan jenis properti tertentu, dan meningkatkan program subsidi rumah untuk warga lokal.